“Kita lihat pada pandemi ini, misalnya. Dimulai dari krisis kesehatan, akhirnya bisa menjalar menjadi krisis di mana-mana. Selama pandemi Danone Indonesia tetap berproduksi karena termasuk dalam produk esensial. Namun ini bukan sesuatu yang mudah. Dua tahun terakhir situasi juga sangat penuh ketidakpastian. Tapi kami percaya, jika diselesaikan bersama-sama, kita akan melewati ini semua. Kami ikut membantu dengan apa yang bisa kami lakukan, mendukung prasarana kesehatan, vaksinasi. Saat kini Indonesia mulai pulih, sangat terasa sekali di perusahaan. Produktivitas meningkat, kegiatan bisnis mulai terasa. Itu indikator yang sangat jelas bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri. Sustainability sangat interconnected dan membutuhkan kolaborasi. Perusahaan yang baik kalau dulu hanya memikirkan shareholder, kini yang dipikirkan ialah stakeholders, pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk konsumen, masyarakat, regulator, dan lain-lain,” ujar Arif.
Apa yang disampaikan Arif sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Daniel S. Purba, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero). Menurut Daniel, bagi institusi usaha migas seperti Pertamina, yang memang padat modal dan mengandung risiko tinggi, menjalankan prinsip-prinsip sustainability dengan sendirinya berarti memberikan kepastian usaha bagi perusahaan itu sendiri.
“Untuk upstream seperti produksi minyak, misalnya. Bisa jadi kita melakukan pengeboran hari ini, tetapi produksinya baru bisa kita lakukan dalam lima tahun ke depan. Atau untuk gas, kita eksplorasi, bersyukur bila mendapat gas hari ini, baru 10 tahun lagi baru bisa kita jual. Jadi spektrumnya bisa sangat panjang sifatnya. Itu sebabnya isu-isu sustainbility bagi perusahaan seperti Pertamina ini menjadi isu yang superkritikal bagi perusahaan, apalagi di mata investor,” papar Daniel.
Di Pertamina, sambung Daniel, concern terhadap keberlanjutan ini tertuang dalam perilaku dan keputusan bisnis sehari-hari. Pertamina bahkan mengundang lembaga luar dengan reputasi internasional dalam mengevaluasi dan mengukur pelaksanaan prinsip-prinsip keberlanjutan di lingkungan Pertamina. Dalam hal transisi energi dari energi yang bersumber dari fosil menjadi sumber energi baru dan terbarukan, Pertamina juga telah menyusun rencana yang cukup panjang.
“Kita menyusun RJPP kita setiap lima tahun. Meskipun kita menyusun RJPP dalam lima tahun, tetapi proyeknya bisa sampai 10-20 tahun. Contohnya untuk renewable energy yang hari ini secara portofolio bisnis (Pertamina) masih sekitar 1%, masih sangat kecil sekali. Tapi kita sudah rencanakan dalam 10 tahun ke depan, atau tahun 2030, kita sudah proyeksikan sampai ke 17%. Jadi 17 kali lipat lebih besar dari yang sekarang dalam tempo 10 tahun ke depan. Ini adalah bagaimana kita merespons energi transisi. Mengapa, karena ini bagian dari kita memastikan sustainability perusahaan ini,” tutur Daniel yang juga mengatakan bahwa adalah suatu keniscayaan semua pihak nantinya akan bergerak menuju energi baru dan terbarukan.
Apa yang dipaparkan Daniel mengenai energi baru dan terbarukan juga menjadi perhatian dari PT PLN (Persero). Disampaikan Edwin Nugraha Putra, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero), PLN melakukan dua pendekatan konseptual terkait penggunaan energi dalam pembangkitan listrik. Kedua konsep ini, disampaikan Edwin, sangat tergantung dengan perkembangan teknologi.
Pendekatan pertama ialah terhadap pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil yang telah dibangun oleh PLN. Edwin katakan, bila PLN melakukan pembangunan-pembangunan pembangkit dengan energi fosil yang mendukung dan memang diperlukan demi pemenuhan kebutuhan listrik, hal tersebut bisa dipahami mengingat banyaknya sumber energi dari batu bara dan gas yang dimiliki Indonesia.
Yang PLN lakukan kemudian ialah menerapkan teknologi-teknologi terkini yang dapat mereduksi tingkat emisi sehingga keberadaan pembangkit tersebut tidak berkontribusi besar dalam hal pencemaran lingkungan.
Kemudian pendekatan kedua, Edwin mengatakan PLN tidak mungkin menafikan kehadiran sumber-sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi pembangkit listrik. Ke depan, PLN justru melihat masa depan akan mengandalkan penuh sumber energi terbarukan ini. Terkait hal ini, PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)-nya telah memasukkan energi baru dan terbarukan ke dalam RUPTL tersebut.
Baca Juga: Akomodir Keresahan Orang Tua, LDII Tangsel Mulai Pembangunan SMA CIM Boarding School
“RUPTL yang kita hasilkan sekarang, kita berani sebut sebagai RUPTL yang paling hijau karena 51,2 persennya itu merupakan pembangkit-pembangkit renewable energy. Dulu itu biasanya yang masuk adalah pembangkit-pembangkit (dengan sumber energi) fosil. Nah, ini sebagai jembatan utama. Untuk jangka panjang, pada 2060, PLN juga akan menerbitkan apa yang disebut Carbon Neutrality 2060, bagaimana pembangkit-pembangkit energi fosil ini secara bertahap akan kita reduce emisinya sesuai dengan perkembangan teknologi. Kemudian hingga 2060 nanti, beban-beban yang naik akan kita layani dengan renewable energy,” papar Edwin.