Suara.com - Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menggelar dialog publik mengusung tema Kesinambungan Fiskal dalam Mencapai Kemandirian Ekonomi di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta pada Rabu (10/11/21).
Diskusi dengan fokus pembahasan “Pahlawan Masa Kini dalam Mencapai Kedaulatan Ekonomi Berkelanjutan” tersebut juga dihadiri oleh Ketua Yayasan Bung Karno (YBK) Guruh Sukarnoputra.
Dalam sambutannya, Guruh Sukarnoputra menyampaikan, Presiden Pertama RI Ir Sukarno menggagas ekonomi berdikari, sebagai reaksi atas praktik ekonomi kolonial yang eksploitatif. Menyusul gagalnya penerapan sistem parlementer yang liberal pada era 1950-1959, maka dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno -yang salah satu isinya kembali ke UUD 1945 sebagai upaya untuk melaksanakan cita-cita proklamasi.
“Pada hakikatnya ekonomi berdikari ini dilaksanakan melalui teori yang dinamakan ‘Trisakti’—berdaulat dalam bidang politik; berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan,” kata Guruh.
Baca Juga: Bangun Industri Pengolahan Sampah, Artha Graha Peduli Dukung Startup Anak Bangsa
Guruh mengatakan, ketika pemerintahan Sukarno berganti ke pemerintahan Suharto, sistem ekonomi pun bergeser kembali ke arah ekonomi liberal. Di mana pencapaian-pencapaian ekonomi pembangunan masa itu terlihat hebat namun semu, karena esensinya tidaklah menyentuh pemerataan untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat melainkan hanya sebagian pengusaha dengan konsesi kemudahannya berkolaborasi dengan dana-dana luar negeri yang masuk dengan mudah melalui peraturan perundangan yang diciptakan secara sistematis oleh para oknum-oknum birokrat.
Guruh mengatakan, target ekonomi Indonesia sejatinya bukanlah pada pertumbuhan ekonomi semu melainkan pada pemerataan ekonomi itu sendiri. Paham ini berbeda dengan sistem liberalisme yang hari ini dikenal dengan neoliberalisme dengan pasar bebasnya. Di era globalisasi yang mengakibatkan kesenjangan, pengangguran, kemiskinan sampai pada kerusakan alam dan lingkungan hidup, mengutip Stiglitz. Globalisasi ekonomi didengungkan oleh barat ternyata tidak berdampak positif, bahkan sebaliknya. Kerusakan atas sistem perekonomian akibat pasar bebas tanpa kendali mendorong pemodal kuat memonopoli pasar.
Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Profesor Imam Mukhlis mengatakan, untuk mencapai kemandirian ekonomi, peran elemen bangsa lintas sektor sangat diperlukan. Kemandirian ekonomi meneguhkan akan komitmen membangun perekonomian bangsa dengan semangat nasionalisme. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah harus presisi dan tepat sasaran. Agar tepat sasaran maka sudah seharusnya kebijakan yang dibuat adalah berbasis riset dan bukti.
“Hasil penelitian seharusnya menjadi acuan dasar pemerintah untuk pembuatan kebijakan yang tepat sasaran. Acuan dasar itu meliputi pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, dan lain-lain,” kata Imam saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik IEF Research Institute.
Imam yang juga peneliti senior di IEF Research Institute ini menjelaskan, kanal peran serta peneliti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan pun telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan juga harus melibatkan peneliti.
Baca Juga: Erick Thohir Hidupkan Kembali Cita-cita Umat
Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, pada era tirani, pahlawan adalah mereka yang mengorbankan jiwa raganya untuk memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Namun, pada masa kini, para pahlawan adalah mereka yang mengisi kemerdekaan melalui kontribusi nyata dalam membangun negeri demi tegaknya eksistensi dan kedaulatan NKRI di segala bidang, termasuk kedaulatan ekonomi.
Ariawan mengatakan, dalam kondisi ideal, postur APBN dibiayai dari penerimaan pajak dan penghasilan negara, termasuk dari devisa. Saat ini peran pajak terhadap APBN masih lebih dari 80 persen dari total pendapatan negara. Ditambah lagi, kondisi keuangan negara sedang krisis di tengah penanganan Covid-19. Hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun, setara dengan 40,85 persen terhadap PDB. Artinya, dari sisi masyarakat, saat inilah momen yang tepat untuk menunjukkan peran dan baktinya melalui kontribusi pajak sesuai ketentuan yang berlaku, bagi tegaknya NKRI. Salah satunya melalui kontribusi pajak.
Contoh dalam konteks kekinian, saat ini pemerintah telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu cakupan di dalamnya adalah adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Voluntary Disclosure Program. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
“Kesediaan mengikuti program pemerintah ini pun sudah merupakan sikap kepahlawanan. Selain menjadi kontributor nyata dalam pembangunan, mengikuti PPS juga menunjukkan adanya nilai kejujuran dan jiwa besar atas kewajiban kita sebagai masyarakat Indonesia,” kata Ariawan.
Ariawan pun menyarankan agar masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat untuk mengikuti PPS. Sebab belum tentu ada kesempatan serupa lagi. Apalagi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerapkan skema automatic exchange of information (AEoI),) telah bertukar informasi dengan puluhan negara/yurisdiksi pada 2020 lalu. Hal ini mempersempit ruang bagi masyarakat untuk melakukan penghindaran pajak
Sementara itu, peneliti senior dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Timbul Hamonangan Simanjuntak menyampaikan, kemandirian ekonomi tidak terlepas dari adanya kesinambungan fiskal yang sehat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan modal pembangunan dan terjaminnya penyediaan barang dan jasa publik secara berkesinambungan. Kemandirian ekonomi juga akan menjamin pembiayaan kehidupan masa depan generasi selanjutnya tanpa terbebani beban utang berkepanjangan.
“Tanpa kesinambungan fiskal, tentunya modal pembangunan akan tergantung pada investasi asing. Tidak berarti investasi asing tidak penting, ini diperlukan manakala terjadi defisit yang bersifat sementara. Dalam hal defisit menjadi sebuah kebijakan, maka perlu strategi jalan keluar agar terhindar dari jebakan utang ( debt trap). Hal ini perlu perhatian kita sebagai bangsa yang berdaulat yang tentunya kita tidak menginginkan praktik globalisme yang sejatinya adalah imperialisme baru itu mendominasi kedaulatan ekonomi Indonesia,” kata Hamonangan.
Monang ini menjelaskan, kebutuhan modal untuk pembangunan infrastruktur bagi negara berkembang sangat mendesak dan sangat besar. Solusi pembiayaan dapat diperoleh baik dari pendanaan asing atau mobilisasi pembiayaan dalam negeri berupa penarikan pajak. Solusi kedua ini lebih dipilih karena biaya yang murah dan terhindar dari biaya modal yang mahal baik dalam bentuk beban kewajiban bayar cicilan utang dan bunga utang. Sebaliknya, ketergantungan yang sangat besar pada pendanaan asing dalam jangka panjang dapat berpotensi bermasalah menimbulkan beban utang berkepanjangan pada anggaran negara. Sayangnya, posisi penerimaan pajak Indonesia sebagai investasi dalam negeri yang dalam beberapa tahun tidak pernah mencapai target dengan tax ratio sangat rendah dibanding negara lain. Diperlukan upaya kerja keras dengan strategi yang jitu dari semua kita dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak.
“Budaya pajak perlu ditanamkan kepada seluruh elemen bangsa karena kesadaran bayar pajak memerlukan dukungan semua pihak sebagai bentuk kegotongroyongan nasional,” tutur Hamonangan.