Suara.com - Pemerintah mengkaji lagi penerapan tes PCR sebagai syarat untuk melakukan perjalanan.
Pengkajian, salah satunya dilakukan sebagai respons munculnya varian delta plus Covid-19 yang telah menyebar ke Asia Tenggara.
"Kita sedang evaluasi apakah penahanan mobilitas penduduk ini akan kita terapkan kembali pelaksanaan kembali PCR itu kembali kaji," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Selasa (9/11/2021).
Kajian kembali terhadap penerapan tes PCR untuk mobilitas penduduk bukan karena pemerintah tidak konsisten dengan peraturan, kata Luhut, tetapi mempertimbangkan perkembangan terbaru untuk menghindari terjadi lonjakan kasus.
Baca Juga: Bongkar Modal Tes PCR Cuma Rp 100 Ribu, Andre Rosiade: Harusnya Bisa Di Bawah Rp 200 Ribu
"Bukan karena kita nggak konsisten, tetapi kita menghitung pergerakan manusia dan kasus, jadi seperti science dan art, jadi memutuskan ini, seperti operasi militer kita melihat dengan cermat."
"Jangan pikiran kemana-mana, kok ini berubah-ubah, tidak begitu, kita lihat perilaku daripada covid-19, sekarang ada indikasi delta plus yang di Malaysia, semua kita cermati dan itu berasal dari UK."
Ketentuan wajib tes PCR untuk menumpang pesawat terbang domestik memantik pro dan kontra.
Sebagian kalangan menyebut aturan tersebut sudah tepat dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di pesawat, akan tetapi sebagian lainnya menilai kebijakan yang menyulitkan konsumen dan diskriminatif karena sektor transportasi lainnya hanya menggunakan tes antigen, bahkan ada yang tidak perlu tes.
Aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat di wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali berlaku sejak 24 Oktober 2021.
Baca Juga: Bio Farma Klaim Harga Tes PCR Termurah Dibanding Negara-negara Kawasan Asia Tenggara
Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Satgas Nomor 21 Tahun 2021, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 dan Nomor 54 Tahun 2021 dan 4 SE dari Kementerian Perhubungan Nomor 86, 87, 88, dan 89 Tahun 2021.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Kamaluddin Latief mengatakan skrining penumpang pesawat melalui tes PCR merupakan standar tertinggi tes Covid-19 dan akan mengurangi risiko terjadi penyebaran virus di dalam pesawat.
Kamaluddin berkata, "Kebijakan wajib tes PCR untuk penerbangan domestik di wilayah Jawa-Bali (PPKM Level 4-1) dan luar Jawa-Bali (PPKM Level 4-3) adalah keharusan dan dibutuhkan."
"Jika mengacu kepada test Covid-19, maka gold standarnya adalah PCR. Hal ini yang harus dipahami oleh semua pihak."
"Jika kita memilih melakukan pelonggaran mobilitas, maka mau tidak mau screening ketat, dengan memilih jenis tes yang lebih sensitif yakni PCR adalah pilihan."
Ketentuan tersebut disebut Kamaluddin akan mampu mengantisipasi kemunculan gelombang ketiga dan masuknya varian baru dari luar negeri.
Tetapi tak semua kalangan mendukung aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyebut, "Kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif, memberatkan, dan menyulitkan konsumen.
Diskriminatif karena sektor transportasi yang lain tidak diberlakukan wajib PCR bagi penumpangnya, tetapi hanya sebatas menggunakan antigen, "bahkan tidak pakai apapun."
Belum lagi masalah harga tes PCR yang "diakali" dengan berbagai cara sehingga jatuh-jatuhnya tiga kali lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah.
"Harga eceran tertinggi PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah PCR Ekspress, yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," kata Tulus.
Bisnis PCR harus ditertibkan pemerintah, atau aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat dibatalkan saja, karena tidak semua wilayah di Indonesia dapat menjalankan tes PCR dengan cepat, kata Tulus.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan," kata Tulus.