Suara.com - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto angkat suara soal tudingan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tes PCR Covid-19
"Saya merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini," kata Septian ditulis Selasa (9/11/2021).
Septian Hario Seto menceritakan perjuangan pemerintah dalam menyediakan layanan test PCR bagi masyarakat. Saat baru diangkat sebagai komisaris BNI pada tahun lalu, Septian mendapatkan fasilitas untuk test PCR dari perusahaan. Ia terkejut dengan mahalnya biaya PCR saat awal pandemi yang mencapai Rp 5 juta sampai Rp 7 juta untuk satu orang yang memerlukan waktu tiga sampai lima hari untuk mengetahui hasilnya.
"Kejadian itu membuat saya berpikir, kalau kapasitas test PCR ini terbatas, dan orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil test mereka, tentunya kita akan keteteran dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini," ucapnya.
Baca Juga: Varian Delta AY di Malaysia, Wajib PCR Sebagai Syarat Naik Pesawat Kembali Dipertimbangkan
Tanpa berpikir panjang, Septian lapor ke Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bahwa kita harus membantu terkait test PCR tersebut. Septian menilai apabila hanya mengandalkan anggaran pemerintah akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR.
Luhut, ungkap Septian, memerintahkan dirinya mencari alat PCR ini. Luhut, lanjut Septian, meminta alat PCR nantinya didonasikan ke Fakultas Kedokteran yang memiliki kemampuan mengoperasikan dan dapat digunakan untuk penelitian.
"Soal uang, nanti kita sumbang saja To," perintah Luhut kepada saya pada waktu itu.
"Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini. Di sini lah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai," kata Septian.
Septian mulai menghubungi dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU bahwa ingin mendonasikan alat PCR. Para ahli dari universitas-universitas tersebut menyarankan rekomendasi merek yang bagus.
Baca Juga: Pemerintah Pertimbangkan Wajibkan Lagi Tes PCR, Luhut: Sedang Kami Kaji
"Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan kita akan beli alat PCR dari Roche. Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir maret 2020," tuturnya.
Septian menyebut Wakil Menteri BUMN saat itu, Budi Gunadi Sadikin, mendapat perintah serupa dari Menteri BUMN Erick Thohir mencari alat PCR untuk rumah sakit BUMN. Septian menawarkan untuk pesan PCR secara bersama-sama agar bisa mendapatkan lebih banyak pesanan dengan harga yang lebih murah.
Septian menyebut alat PCR mulai datang dan mulai distribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran pada akhir April 2020 berkat lobi dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak di rebut negara lain.
"Karena kita mendengar ada satu negara timur tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar AS dan bersedia membayar tunai di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," beber Septian.
Kata Septian, setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan karena harus menunggu reagen PCR yang datang pada awal Mei dan juga memerlukan adanya Viral Transport Medium (VTM) untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.
"Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja," tegasnya.
Septian mengatakan akibat proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100 tes sampai 200 tes per hari atau jauh dari target yang sebanyak 700 tes sampai 1.000 tes per hari. Septian menyebut keterbatasan suplai membuat Indonesia sulit mendapatkan ekstraksi RNA dari Roche dan memutuskan mencari merek lain yakni merek Qiagen dari Jerman.
"Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," kata Septian.
Selama beberapa bulan, lanjut Septian, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCR. Septian dan tim mendapatkan satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di Cina atau semacam badan usaha yang bergerak dibidang bioteknologi.
"Alat ekstraksi RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNAnya," ucapnya.
Yang lebih menarik, lanjut Septian, produsen Cina itu juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Cina ini, Indonesia bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu.
Sebelum memutuskan beli, Septian meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya di luar dugaan, cukup baik. Kata Septian, alat ekstraksi RNA mudah digunakan dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu satu jam. Reagen PCR pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar di pasaran pada waktu itu.
"Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," ujarnya.
Kepada lab-lab kampus, Septian menyampaikan hanya akan mendukung mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10 ribu test untuk masing-masing lab berdasarkan kecukupan donasi yang disumbangkan Luhut dan teman-temannya.
"Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Cina, kita bisa mendukung untuk lebih banyak reagen. Pak Luhut kemudian juga menerima telepon dari teman-teman beliau di Cina yang mau menyumbang untuk penanganan Covid-19 di Indonesia sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen," tutur Septian.
Kata Septian, satu lab saat itu bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, ia meminta lab-lab tersebut harus bisa mandiri lantaran donasi yang terbatas.
Septian mengaku menceritakan hal ini agar publik tahu betapa sulitnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu serta banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu.
Septian mengatakan Kementerian BUMN, melalui Erick dan Budi Sadikin membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia. Ia meyakini banyak pihak lain yang juga berusaha keras membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan.
"Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," tegasnya.
Dalam perjalanan mencari alat PCR untuk donasi ke para lab, lanjut Septian, salah satu teman Luhut mengajak ikut berpartisipasi dalam pendirian lab test covid-19 yang memiliki kapasitas tinggi yakni lima ribu tes per hari dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru).
"Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, kita bantu lah To mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," tuturnya.
Septian juga menjelaskan usulan test PCR untuk penumpang pesawat di tengah kasus yang menurun. Septian menyebut kebijakan tersebut untuk mengantisipasi peningkatan risiko penularan.
"Satu-dua minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan risiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan," ucapnya.
Dia mencontohkan data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 di Bali yang menunjukkan level yang sama dengan liburan Nataru pada 2020. Berdasarkan laporan di lapangan, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa.
"Pedulilindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar atau kafe di Bandung," terangnya.
Kata Septian, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan meminta dia dan tim melakukan disain metode penanganan yang baik saat Luhut diperintahkan menangani peningkatan kasus di Jawa-Bali pada awal Juli 2021.
Septian kemudian menghubungi Prospera untuk membantu membuat leading indicator dalam memonitor perkembangan kasus dengan indeks komposit, yaitu Google Traffic, Facebook Mobility dan NASA Nightlight Index.
"Intinya tiga indikator tersebut mencerminkan aktivitas masyarakat. Kalau aktivitas masyarakat masih tinggi, maka penambahan kasus tidak akan menurun," kata Septian.
Septian mengatakan Indonesia belajar dari negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta, relaksasi aktivitas, dan penurunan protokol kesehatan.
Septian menyebut kebijakan relaksasi aktivitas masyarakat dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat dan testing serta tracing yang tinggi, serta relaksasi dilakukan secara gradual sejak agustus sampai saat ini.
"Namun, ketika saat ini kita melihat protokol kesehatan sudah menurun signifikan tentu saja kami melihat ada peningkatan resiko kenaikan kasus," ucapnya.
Menurut Septian, GSI, sesuai namanya, Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemi yang sifatmha lebih //social entrepreneurship//.
Kata Septian, keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan sosial, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, atau di wisma atlet, hingga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta.
Septian menilai tudingan konflik kepentingan yang ditujukan kepada Luhut tidak tepat. Pasalnya, Luhut ditunjuk koordinator PPKM Jawa-Bali pada Juli 2020 atau jauh setelah pendirian GSI. Septian menilai penggunaan PCR untuk penumpang pesawat juga diberlakukan karena peningkatan risiko kasus. Ketika tren kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan prokes yang baik pada September, ia juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang pesawat dari PCR menjadi antigen asalkan mereka sudah dua kali vaksin.
"Kalau memang Pak Luhut ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah. Sebagai tambahan, di kantor kami, biasanya PCR atau antigen dilakukan Medistra, RS Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab, tidak pernah GSI," terangnya.
Septian menjelaskan dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan 51 persen dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham.
Menurut Septian, hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain, salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing.
"Perlu diketahui, ketika awal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan salah satu pemegang saham," ucapnya.
Septian tidak menampik bahwa dirinya kurang hati-hati dalam mengingatkan Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi konflik kepentingan. Namun, kondisi pada GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini.
Septian menegaskan keputusan Luhut sebagai koordinator PPKM Jawa Bali diambil didasarkan usulan atas analisis data dan situasi sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik.
"Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil Pak Luhut yang kami usulkan karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," kata Septian.
Terkait harga PCR, menurut Septian, tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini, ucapnya, kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Luhut dalam memutuskan.
"Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," tuturnya.
Septian mengaku malas mengungkapkan donasi atau bantuan yang diberikan Luhut dalam penanganan pandemi. Ia selalu ingat pesan Luhut, kalau melakukan kebaikan dan bantuan tidak perlu diingat-ingat supaya tidak merasa memiliki budi kepada orang lain, tetapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya tidak mengulangi.
"Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang terjadi," terangnya.
Septian menilai dampak Varian Delta pada Juli merupakan pengalaman yang menyakitkan untuk bangsa ini. Oleh karenanya, saat melihat risiko peningkatan kasus, ia ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap satu minggu dilakukan PPKM Darurat sekitar Rp 5,2 triliun, itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," ucapnya.
Septian berharap penjelasan ini dapat memberikan informasi kepada publik agar memahami konteks yang terjadi.
"Selain itu, kondisi dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Mohon jangan melupakan sejarah yang ada," kata Septian menambahkan.