Suara.com - Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker), Ida Fauziyah menyinggung kontribusi PRT pada kesejahteraan keluarga, yang juga berkontribusi pada perekonomian nasional secara umum. Hal ini ia sampaikan dalam Webinar bertajuk “Gerakan Nasional Kemanusiaan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jaminan Sosial bagi Perempuan Pekerja Rumah Tangga”.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan PRT sebagai salah satu sektor pekerja informal yang berjumlah separuh dari angkatan kerja nasional. Dalam sektor ini, pada umumnya dijalani oleh perempuan.
PRT jadi pilihan banyak orang alias menyerap banyak pekerja perempuan, terutama dari kalangan muda, migran, dan masyarakat yang keterampilan dan pendidikan kategori rendah.
PRT merupakan satu dari sekian banyak profesi informal yang dipilih banyak kalangan, sementara, Menaker menyebut, sektor informal selama ini sangat lemah dalam perlindungan pekerja dari berbagai aspek.
Baca Juga: Menaker Apresiasi Pelaksanaan PON Tahun 2021 di Papua
Sehingga, PRT dianggap pekerjaan yang rentan dengan berbagai risiko, hingga diskriminasi seperti pelecehan profesi, eskploitasi, dan kekerasan seperti fisik, psikis, dan isolasi.
“Saat ini kita masih menemukan berbagai masalah, seperti jam kerja di atas rata-rata, atau rata-rata lebih lama dari pekerjaan pada umumnya,” tutur Ida.
Dalam kesempatan itu, ia berujar, 63% PRT bekerja 7 hari seminggu, jumlah PRT yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau kontrak kerja, dan kurangnya jaminan sosial dan pelindungan asuransi bagi PRT.
Dengan data ini, ia mengupayakan agar segera mewujudkan perlindungan PRT itu harus terus diperbaiki ke depan.
“PRT merupakan mitra dan seharusnya medapatkan hubungan kerja yang saling menguntungkan antara tenaga kerja dengan pemberi kerja, dengan memperhatikan hak dan kewajiban,” tegas dia dalam siaran pers terkait.
Baca Juga: Menaker Ida Dampingi Wapres Pimpin Rakor Percepatan Penanggulangan Ekstrem
“Tentu kita berharap akan segera menjadi usul inisiatif DPR dan pastinya pemerintah akan menyambut baik pada saatnya UU ini dibahas bersama dengan pemerintah,” imbuhnya.
Dengan pengesahan RUU Perlindungan PRT, Ida berharap mampu menghapus kekerasan dan diskriminasi di Indonesia, khususnya terhadap PRT.
“Sehingga hal yang tidak boleh dilewatkan dalam RUU PRT adalah pentingnya perjanjian kerja antara PRT dan pemberi kerja,” jelas Ida.
Pemerintah juga terus mengusahakan penerbitan regulasi yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap PRT melalui penerbitan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT.
Aturan ini didalamnya berisi aturan terkait perjanjian kerja, kewajiban PRT dan pemberi kerja, jam libur, libur seminggu sekali, hak cuti 12 hari per tahun, Tunjangan Hari Raya (THR), jaminan sosial dan kesehatan, kondisi kerja yang layak, dan batas usia minimum PRT.
Selain itu juga mengatur lembaga penyalur PRT. Antara lain terkait ijin usaha dan pembinaan serta pengawasan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah.
Sejumlah aturan dari dalam negeri mengisyaratkan PRT wajib diikutsertakan dalam program jaminan sosial, seperti UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Peserta Jaminan Sosial. Demikian pula Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Berdasarkan data dari ILO tahun 2015 lalu, jumlah PRT di Indonesia diperkirakan 4,2 juta orang. Jumlah ini tentu sudah bertambah secara ekstrem saat ini.
“Jumlahnya mungkin saat ini sudah meningkat,” tutur Menaker.
Jumlah PRT saat ini sangat didominasi oleh perempuan dengan rasio 292 perempuan PRT untuk setiap 100 PRT laki-laki.
“Untuk Indonesia sendiri diperkirakan 60-70% dari total 9 juta Pekerja Migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri,” kata Menaker.