Suara.com - Sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional terus mendapat hambatan dari pemerintah.
Setelah rencana kenaikan Cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 yang kenaikannya mencapai Rp20 triliun dari sebelumnya Rp173 triliun menjadi Rp193 triliun di tahun 2022, hambatan lain datang dari seruan Gubernur nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok.
Awal bulan lalu, satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi DKI Jakarta menutup paksa etalase rokok di minimarket. Seruan Gubernur nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok disebut menjadi landasan penindakan oleh Satpol PP tersebut, padahal beleid tersebut sifatnya imbauan.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho mengatakan, Seruan Gubernur Nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok dari segi fungsi, Seruan Gubenur (Sergub), Surat Edaran Gubernur, Maklumat dan bentuk lainnya merupakan bentuk produk naskah dinas dan alat komunikasi untuk kedinasan.
“Sergub tersebut tidak memiliki jangkauan hukum untuk melakukan pengaturan ke luar internal pemerintahan, apalagi sampai dijadikan acuan penindakan Satpol PP. Ada diskresi memberikan kebebasan bertindak bagi pejabat adminstratif, namun ada syarat ketat yang perlu dipenuhi seperti peraturan tidak boleh melampaui kewenangan regulasi yang berada di atasnya,” katanya pada acara diskusi bertajuk 'Maju Kotanya Bahagia Warganya Adil Regulasinya' ditulis, Kamis (4/11/2021).
Menurut Ali, Sergub bukan Peraturan Undang-Undang (PUU) dan sifatnya tidak boleh mengatur dan tidak boleh bertentangan dengan regulasi lain baik yang berada di atasnya maupun ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Pemprov DKI.
“Ketentuan soal Kawasan Tanpa Rokok sudah tuntas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dengan adanya substansi mengatur, Sergub ini menjadi aneh karena ada yang sifatnya larangan. Sergub ini juga bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta sendiri yaitu Perda 50/2012,” paparnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengungkapkan, pemerintah harus mewaspadai aliran dana asing yang dapat mengubah arah kebijakan.
“Hal ini bakal kontraproduktif jika tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Isu intervensi via hibah asing kembali mencuat saat Pemda DKI Jakarta menerbitkan Seruan Gubernur (Sergub) 8/21 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok,” ujarnya.
Baca Juga: Kakek Berusia 70 Tahun di Bandung Tewas Terbakar Usai Beli Rokok
Lebih lanjut, jika program atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah merupakan perwujudan dari agenda pendonor dan tidak pernah jadi agenda pemerintah, itu bentuk intervensi.