Dalam Forum G20, Pemerintah Bawa Isu Reformasi Perpajakan, Bisa Untungkan RI?

Senin, 01 November 2021 | 17:33 WIB
Dalam Forum G20, Pemerintah Bawa Isu Reformasi Perpajakan, Bisa Untungkan RI?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Italia 2021, Sabtu (30/10/2021). (Foto Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah Indonesia terus menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil melalui forum G20. Pernyataan tersebut disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam pidatonya di pertemuan tingkat kepala negara G20 di Roma, Italia pada Sabtu-Minggu (30-31/10/2021) pada topik “Ekonomi dan Kesehatan Global”.

Presiden Jokowi menyampaikan, pemulihan global yang rapuh mengharuskan melakukan serangkaian dukungan kebijakan termasuk reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil.

“Semenjak pertemuan terakhir forum G20 di bulan Juli 2021, diskusi internasional terus menunjukkan perkembangan yang baik sehingga kita semakin dekat dengan tujuan reformasi perpajakan internasional yang adil ini," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam keterangan persnya, Senin (1/11/2021).

Contohnya, kata dia, terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang telah menyetujui Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy atau yang selanjutnya disebut dengan Solusi Dua Pilar Pajak Digital, yaitu menjadi 136 negara.

Baca Juga: Jokowi Ajak Pemimpin Dunia Wujudkan Ekosistem Rantai Pasok Global Yang Tangguh

Jumlah ini meningkat, dari sebelumnya 132 negara anggota pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Forum G20 Juli 2021 lalu. Hal ini berarti hanya tinggal empat negara lagi untuk mencapai konsensus global.

Salah satu fokus forum G20 yang akan terus dilanjutkan pada Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022 adalah meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi guna mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, berkelanjutan. Hal ini dilakukan salah satunya melalui reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil.

Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital ('negara pasar') yang dikenal dengan Pilar 1 serta pemastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.

Untuk mewujudkan kedua pilar ini menjadi landasan hukum yang konkret, perlu disusun suatu Konvensi Multilateral (Multilateral Convention/MLC).

“Pilar 1 dan Pilar 2 akan dituangkan dalam suatu konvensi multilateral yang rencananya akan mulai ditandatangani pada pertengahan 2022 dan berlaku efektif pada tahun 2023. Oleh karena itu, kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 tahun 2022 menjadi sangat krusial agar target tersebut dapat direalisasikan tepat waktu”, lanjut Febrio.

Baca Juga: Tetap Pakai Masker di Rangkaian KTT G20, Jokowi Ramai Dipuji Warganet

Pilar 1 mencakup MNE dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10 persen. Keuntungan MNE ini kemudian dibagikan kepada negara pasar jika MNE tersebut memperoleh setidaknya EUR1 juta (atau EUR250 ribu untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar) dari negara pasar tersebut.

Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25 persen keuntungan MNE ke negara pasar. Jumlah ini kemudian akan dibagikan kepada negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut.

“Pengaturan yang semakin konkret ini adalah perkembangan sangat baik. Dengan alokasi 25 persen maka sistem perpajakan menjadi lebih adil dibandingkan saat ini, di mana tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Padahal sebagian besar MNE yang menjual barangnya di Indonesia bukan merupakan BUT, melainkan hanya kantor perwakilan saja sehingga tidak bisa dipajaki”, lanjut Febrio.

Selanjutnya, Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar EUR750 juta atau lebih. Dengan pajak minimum pada Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi. Pilar 2 yang dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules akan memastikan MNE dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persem.

Selain itu, laporan OECD 'Statement on A Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising From the Digitalization of the Economy' pada 8 Oktober 2021 juga menyebutkan, bahwa pilar dua akan melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu (seperti bunga dan royalti) menjadi minimal sebesar 9 persen.

Makna Pilar 2 yang pengaturannya semakin detail ini ada dua. Pertama, Indonesia bisa meningkatkan penerimaan pajak yang semula terhambat praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan tarif yang rendah.

Namun pada saat yang sama, dengan adanya tarif pajak minimum, Indonesia juga akan meninjau ulang rezim fasilitas pajak yang diberikan kepada MNE.

"Sebab, kalaupun mengenakan tarif pajak lebih rendah dari tarif minimum tadi, negara lain akan mengenakan pajak tambahan hingga mencapai tarif minimum," katanya.

Berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, terdapat tambahan Pajak Penghasilan hingga 4 persen atau sekitar USD 150 miliar per tahun dengan pengenaan pajak minimum melalui Pilar 2. Selain itu, terdapat tambahan sebesar USD 125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar, termasuk Indonesia, melalui implementasi Pilar 1 yang menjanjikan sistem pajak internasional yang lebih adil.  

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI