Ketiga, pelaksanaan supervisi secara berjenjang mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten Propinsi dan Pusat, Pengawasan oleh Tim KP3 (Unsur Dinas dan aparat hukum).
Keempat, kegiatan verifikasi dan validasi penyaluran dilakukan secara berjenjang oleh Tim Verval mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat melalui Dashboard Bank (Kartu Tani) dan sistem eVerval (KTP) berbasis android/T-Pubers.
Kelima adalah pembayaran meliputi PT PIHC mengajukan usulan pembayaran dilengkapi dokumen sesuai persyaratan. Namun sebelumnya dilakukan verifikasi dokumen dan lapangan (sampling) oleh Tim Verval Kecamatan sampai Pusat. “Nah pengajuan pembayaran ke KPPN,” ujarnya.
Berpijak dari tahapan tadi, Hatta menegaskan Kementerian Pertanian melibatkan multi pihak dalam pengaturan tata kelola pupuk bersubsidi. Artinya, tidak bekerja sendiri dalam mengurus pupuk bersubsidi. Seperti di tingkat perencanaan dijalankan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah.
Di perkebunan sawit, petani meminta pemerintah untuk melindungi tata kelola pupuk non subsidi. Pasalnya, harga pupuk melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir. Harga pupuk baik tunggal dan majemuk naik antara 70%-120%.
Dr. Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengungkapkan petani sawit dikatakan penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa. Di saat harga TBS tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk. Yang terjadi saat ini kami merasa dianaktirikan, saya sebagai Ketua sudah kehabisan kata-kata menahan amarah petani sawit dari 144 Kab Kota se Indonesia, semua bermula melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam naik 120% dari harga sebelumnya,” kata Gulat.
Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga harus menjadi control, bukan sebaliknya.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut pupuk subsidi, hanya meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk yang non subsidi,” terang dia.
Baca Juga: Nelayan Binaan Pupuk Kaltim Siap Penuhi Kebutuhan Ekspor Kerapu
Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh pupuk urea sudah dipatok Rp4.500/kg sebelum adanya kenaikan. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.