Suara.com - Pengalaman yang baik dalam mewujudkan pembangunan perkotaann yang berkelanjutan yang tertuang dalam New Urban Agenda bukan hanya konsep atau teori yang tidak implementatif namun justru menjadi tantangan kita semua untuk mewujudkannya menjadi aksi nyata.
New Urban Agenda itu harus diwujudkann dan dijadikan kegiatan nyata sehingga bisa berdampak dan bermanfaat luas, berkelanjutan, serta bisa terus direplikasi untuk terus mewujudkan kota-kota maupun kawasan urban yang lebih baik.
Kemunculan kawasan kumuh di perkotaan merupakan fenomena yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, kondisi yang terjadi di Kawasan kumuh di kota saat ini tengah menghadapi berbagai permasalahan khususnya kualitas dan kuantitas di lingkungan permukiman yang terkait dengan kondisi sarana, prasarana, dan kondisi bangunan di kawasan tempat tinggal.
Pada dasarnya permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek yang saling mempengaruhi, yaitu lahan, rumah, perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terjalin dalam suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya baik dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. Permukiman kumuh harus dipandang secara utuh dan intégral dalam dimensi yang lebih luas.
Baca Juga: World Habitat Day 2020 di Surabaya, Bahas Perumahan Layak
Menurut UU No.1 Tahun 2011, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidak teraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Beberapa faktor pendorong timbulnya permukiman kumuh di perkotaan adalah arus urbanisasi penduduk, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat, karateristik fisik alami.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), secara eksplisit dicantumkan bahwa salah satu ruang lingkup penyelenggaraan PKP adalah pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan, strategi dan program oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggungjawab.
Membaca artikel yang ditulis oleh TL OSP 7 Provinsi Bali Indro Budiono, dengan judul “LC, Model Alternatif Tangani dan Cegah Permukiman Kumuh Perkotaan” memberikan masukan bagi kita bahwa pengambil kebijakan wajib memiliki strategi dalam penanganan kumuh berdasarkan kajian dan analisis tajam dan baik dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi wilayah, karakteristik penduduk, status lahan, kepadatan bangunan, tingkat kekumuhan, kesesuaian dengan tata ruang dan faktor lain yang mendukung agar strategi dan kebijakan yang diambil melahirkan “pembangunan yang membahagiakan”.
Ada beberapa model yang dapat dipergunakan sebagai alternatif dalam menangani masalah permukiman kumuh di perkotaan antara lain, pertama, Model Land Sharing I. Model land sharing adalah penataan ulang di atas lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Dalam penataan tersebut, masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran). Beberapa syarat untuk penanganan yang akan dilakukan, antara lain, (1) tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan luasan yang terbatas, (2) tingkat kekumuhan tinggi, dengan ketersediaan lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana dan sarana dasar, (3) tata letak bangunan tidak berpola.
Kedua, Model Land Sharing II. Menurut Angel dan Boonyabancha (1988), land sharing merupakan proses sharing lahan, terjadi dengan kondisi (1) lahan dimiliki oleh satu orang/instansi, (2) Lahan yang dulunya dalam keadaan kosong diokupasi/dihuni secara liar oleh sekelompok orang, (3) lahan mau digunakan kembali oleh pemilik dengan konsekuensi membagi lahan menjadi dua—sebagian besar untuk pemilik lahan dan sisanya untuk pemukim liar, (4) keputusan bersama/atas persetujuan dua belah pihak, dan (5) masyarakat mau berperan aktif dalam proses tersebut—ikut serta dalam memberikan ide/pemikiran.
Baca Juga: The World Habitat Day Surabaya 2020, Jokowi Soroti Lonjakan Penduduk Kota
Hal ini bisa diterapkan di Indonesia, dimana banyak lahan milik pemerintah (kebanyakan di tepian sungai, areal PTPN atau rel kereta api) biasanya dihuni secara liar oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan membangun Rusunawa, tentunya dengan pengawasan yang ketat dan kontinyu agar tidak terjadi penyelewengan pengguna.
Ketiga, Model Land Readjusment. Menurut Doebele (1982), land-readjustment adalah proses penataan lahan kembali, dilaksanakan dengan kondisi (1) lahan dimiliki oleh beberapa orang pada satu lokasi, biasanya merupakan lahan pertanian yang diperjual belikan secara acak, (2) lahan kemudian dibangun/dihuni oleh pemilik, biasanya bentuk lahan tidak beraturan atau kurang sarana prasarana seperti jalan lingkungan, taman dan pedestrian, (3) pemilik ingin menata lahan untuk meningkatkan kualitas permukiman dan harga lahan, (4) pengaturan lahan secara keseluruhan disesuaikan dengan proporsi 70%-30%, yaitu 70 untuk pemilik dan 30 untuk fasilitas (jalan dan taman), (5) dilakukan bersama-sama dengan persetujuan semua pihak.
Proses ini dapat dilakukan pada hunian-hunian kampung di Indonesia agar bentuk lahan tertata serta memudahkan akses kendaraan. Selain itu proses ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki hidup yang sehat, aman dan bebas kumuh. Proses land readjusment banyak dilakukan di Bali, menurut beberpa penelitian menunjukkan bahwa hal ini dapat dilaksanakan lebih dikarenakan warganya bisa berkompromi agar mengiklaskan sebagian lahan untuk di bangun jalan bersama.
Keempat, Model Konsolidasi Lahan (Land Consolidation). Konsolidasi lahan adalah bentuk kegiatan mengenai pengelolaan tata guna lahan dengan cara pengaturan kembali penggunaan lahan dan penguasaan bidang-bidang tanah. Sasaran dari konsolidasi lahan itu sendiri adalah penataan kembali penggunaan dan penguasaan tanah pada suatu kawasan yang kondisinya dinilai kurang memenuhi syarat untuk menjadi kawasan yang lebih baik (Indra,2012).
Konsolidasi lahan merupakan suatu kegiatan terpadu menata (kembali) suatu wilayah yang tidak teratur menjadi teratur, lengkap dengan prasarana dan kemudahan yang diperlukan, agar tercapai penggunaan tanah / lahan secara optimal yang pada prinsipnya dilaksanakan atas swadaya masyarakat sendiri. Konsolidasi lahan juga merupakan suatu sistem pengembangan lahan inkonvensional yang saat ini telah diterapkan di Indonesia, antara lain, Denpasar, Bandung, Palu, Kendari dan beberapa kota lain.
Pada prinsipnya secara konseptual konsolidasi lahan kota mengandung tujuan: (1) menggabungkan secara sistematis lahan yang berpencar-pencar dan tidak teratur disesuaikan dengan tata ruang, (2) mendistribusikan lahan yang telah ada dikonsolidasikan kepada pemilik lahan secara proporsional, (3) mengatur bentuk dan letak persil kepemilikan, (4) meningkatkan nilai ekonomis melalui pengadaan prasarana dan sarana lingkungan yang memadai di atas lahan yang disumbangkan oleh pemilik.
Prinsip dasar konsolidasi lahan adalah (1) kegiatan konsolidasi lahan membiayai dirinya sendiri, (2) adanya land polling yang juga merupakan ciri khas konsolidasi lahan, (3) hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, (4) melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah, (5) tanah yang diberikan kembali pada pemilik mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada sebelum konsolidasi tanah.
Kelima, Model Resettlement. Menurut Johara T.J. (1999). Resetlement atau permukiman kembali pada umumnya dilakukan melalui program transmigrasi yaitu perpindahan penduduk (migrasi) dari suatu daerah yang rapat penduduknya umumnya di Pulau Jawa menuju daerah yang masih jarang penduduknya biasanya terdapat diluar Pulau Jawa dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan diharapkan dapat meningkatkan integrasi nasional dalam ekonomi dan sosial.
Resettlement atau pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus disediakan. Pemindahan penduduk biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar, termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat. Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan fungsional yang akan/perlu direvitalisasi sehingga memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah kabupaten/kota.
Keenam, Model Pembangunan Rumah Susun. Pembangunan rumah susun merupakan suatu model penanganan permukiman kumuh perkotaan dengan mengubah kondisi lingkungan permukiman yang sangat padat penduduknya dan dinilai tidak memenuhi syarat lagi sebagai tempat hunian yang layak.
Cara yang dilakukan dalam pembangunan rumah susun adalah dengan memperkecil lahan untuk perumahan tetapi dengan meningkatkan luas lantai. Lahan sisa (residual land) dimanfaatkan untuk penempatan fungsi perkotaan produktif misalnya komersial, perkantoran atau pusat hiburan dan penempatan prasarana lingkungan (jalan dan utilitas umum) dan sarana lingkungan (fasilitas sosial dan fasilitas umum). Rumah susun merupakan sebagai suatu bangunan rumah bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal terdiri atas satuan atau unit dengan batasan yang jelas baik ukuran maupun luasnya.
Pembangunan kembali pada kawasan permukiman kumuh secara vertikal maksimal empat lantai dengan maksud sebagai berikut: supaya dapat menampung seluruh penghuni, harga tanah di pusat kota relatif tinggi, sebagian tanah digunakan untuk kebutuhan sosial, sebagian tanah dijual kepada pihak swasta atau pemerintah guna memperkecil biaya pembangunan untuk meringankan harga sewa atau cicilan, sebagian tanah diserahkan pada pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya sebagai pendukung kawasan.
Ketujuh, Model Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program (KIP). KIP merupakan suatu pola pembangunan kampung yang didasarkan pada partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan pemenuhan kebutuhannya. Program ini mempunyai prinsip universal yang berlaku dimana-mana yakni memberdayakan dan menjadikan warga sebagai penentu dan pemanfaat sumber daya kota guna memperbaiki taraf hidup dan kemampuan untuk maju. Prinsip dari program perbaikan kampung adalah perbaikan lingkungan kampung-kampung kumuh di pusat kota yang berada di atas tanah milik Kondisi sektor permukiman perkotaan di Indonesia dalam banyak hal memang masih jauh dari ideal. Disamping masalah backlog penghunian rumah yang terus berupaya untuk diatasi oleh berbagai pihak, juga terdapat isu kelayakan rumah dan permukiman kumuh yang perlu mendapatkan perhatian serius. Berdasarkan analisis SUSENAS, pada tahun 2019 angka rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni nasional mencapai 56,51%, dan dikawasan perkotaan sebagai titik konsentrasi penduduk mencapai 61,09%. Artinya masih terdapat 38,9% (15,5 juta rumah tangga) perkotaan yang tinggal di rumah tidak layak huni, dan dapat dipastikan sebagian rumah tangga tersebut menempati permukiman kumuh.masyarakat yang mempunyai kepadatan tinggi.
Agar dapat menangani berbagai permasalahan perumahan dan permukiman tersebut, dibutuhkan suatu bentuk penanganan permukiman kumuh yang dapat meningkatkan penyediaan perumahan layak dan terjangkau di perkotaan, sekaligus meningkatkan efektifitas pemanfaatan ruang kota.
Perkembangan pola penanganan permukiman kumuh selanjutnya berupaya menyentuh aspek fundamental dari perumahan dan komunitas, melalui program terpadu yang tidak hanya menangani aspek fisik tetapi juga sisi ekonomi dan sosial. Skema program pun melibatkan partisipasi komunitas dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 97, peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh dapat dilaksanakan dengan pola pemugaran (slum upgrading), pemukiman kembali (resettlement), atau peremajaan (regeneration/ renewal). Berbagai pola tersebut diupayakan melalui berbagai program baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Khusus dalam konteks perkotaan, fokus saat ini adalah untuk mendorong pelaksanaan pola peremajaan kota.
Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) mencipta ruang tak kumuh
KOTAKU adalah satu dari sejumlah upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di Indonesia dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Arah kebijakan pembangunan Dirjen Cipta Karya adalah membangun sistem, memfasilitasi pemerintah daerah, dan memfasilitasi komunitas (berbasis komunitas). Program KOTAKU menangani kumuh dengan membangun platform kolaborasi melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat.
Program KOTAKU dilaksanakan di 32 kota/kabupaten prioritas dan tersebar di 1.919 kelurahan/desa. Sebagai implementasi percepatan penanganan kumuh, Program KOTAKU akan melakukan peningkatan kualitas, pengelolaan serta pencegahan timbulnya permukiman kumuh baru, dengan kegiatan-kegiatan pada entitas desa/kelurahan, serta kawasan dan kabupaten/kota. Kegiatan penanganan kumuh ini meliputi pembangunan infrastruktur serta pendampingan sosial dan ekonomi untuk keberlanjutan penghidupan masyarakat yang lebih baik di lokasi permukiman kumuh. Pada tahun 2021 ini secara nasional Program Kotaku melaksanakan kegiatan skala lingkungan di 365 desa/kelurahan untuk BPM reguler, serta 1.632 desa/kelurahan untuk kegiatan cash for work (CFW), 43 desa/kelurahan lokasi Kotaku-DFAT, dan 59 desa/kelurahan lokasi livelihood/PPMK. Pada tahun 2021 ini juga, Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) telah berkontribusi dengan melibatkan 146.430 tenaga kerja melalui kegiatan Padat Karya, dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Implementasi pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh, dimulai dari tahap (a) pendataan; (b) perencanaan; (c) pelaksanaan, (d) pemantauan dan evaluasi dan (e) keberlanjutan. Setiap tahapan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat (LKM/BKM), pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lainnya (stakeholder). Disadari bahwa kegiatan pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh berkaitan erat dengan masyarakat dan sebagai implementasi dari prinsip bahwa pembangunan yang dilakukan (termasuk pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh) tidak boleh merugikan masyarakat, maka dalam pelaksanaan Program Kotaku selalu menerapkan penapisan (pengamanan) lingkungan dan sosial (environment and social safeguard).
Sumber pembiayaan Program Kotaku berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan lainya (stakeholder) serta dari lembaga mitra pembangunan pemerintah (World Bank-WB; Asian Infrastructure Investment Bank-AIIB dan Islamic Development Bank-IsDB). Berdasarkan kebutuhan total pembiayaan, sumber dari mitra pembangunan pemerintah (Loan) sekitar 45%.
Tujuan umum program sendiri ini adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru dalam rangka untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.
Indah Raftiarty ER
Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR