Suara.com - Ketentuan wajib tes PCR untuk menumpang pesawat terbang domestik memantik pro dan kontra.
Sebagian kalangan menyebut aturan tersebut sudah tepat dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di pesawat, akan tetapi sebagian lainnya menilai kebijakan yang menyulitkan konsumen dan diskriminatif karena sektor transportasi lainnya hanya menggunakan tes antigen, bahkan ada yang tidak perlu tes.
Aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat di wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali berlaku sejak 24 Oktober 2021.
Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Satgas Nomor 21 Tahun 2021, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 dan Nomor 54 Tahun 2021 dan 4 SE dari Kementerian Perhubungan Nomor 86, 87, 88, dan 89 Tahun 2021.
Baca Juga: Presiden Minta Harga Tes PCR Dipatok Jadi Rp 300 Ribu, Wamenkes Sebut Reagen Masih Impor
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Kamaluddin Latief mengatakan skrining penumpang pesawat melalui tes PCR merupakan standar tertinggi tes Covid-19 dan akan mengurangi risiko terjadi penyebaran virus di dalam pesawat.
Kamaluddin berkata, "Kebijakan wajib tes PCR untuk penerbangan domestik di wilayah Jawa-Bali (PPKM Level 4-1) dan luar Jawa-Bali (PPKM Level 4-3) adalah keharusan dan dibutuhkan."
"Jika mengacu kepada test Covid-19, maka gold standarnya adalah PCR. Hal ini yang harus dipahami oleh semua pihak."
"Jika kita memilih melakukan pelonggaran mobilitas, maka mau tidak mau screening ketat, dengan memilih jenis tes yang lebih sensitif yakni PCR adalah pilihan."
Ketentuan tersebut disebut Kamaluddin akan mampu mengantisipasi kemunculan gelombang ketiga dan masuknya varian baru dari luar negeri.
Baca Juga: Relawan Joman Sebut Jokowi Tak Nyaman dengan Syarat Wajib PCR untuk Penerbangan
Sistem tracing dan karantina juga harus diperketat, kata Kamaluddin, "Sanksi terhadap pelanggar juga harus dijalankan. Intinya, kita berupaya agar bisa membuat sistem yang mendekati ideal sesuai kapasitas optimal yang bisa kita lakukan."
Kamaluddin mengingatkan beberapa negara di dekat Indonesia, seperti Singapura, sekarang sedang mengalami lonjakan kasus dan hal itu harus diwaspadai agar jangan sampai menyebar ke Indonesia.
"Kita juga harus belajar dari Singapura, Inggris, dan Taiwan, yang memiliki kendali sistem, test dan vaksinasi relatif baik, pada akhirnya tetap kembali mengalami lonjakan kasus. Kita harus belajar dari pengalaman seperti ini," katanya.
Aturan Diskriminatif
Tetapi tak semua kalangan mendukung aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyebut, "Kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif, memberatkan, dan menyulitkan konsumen.
Diskriminatif karena sektor transportasi yang lain tidak diberlakukan wajib PCR bagi penumpangnya, tetapi hanya sebatas menggunakan antigen, "bahkan tidak pakai apapun."
Belum lagi masalah harga tes PCR yang "diakali" dengan berbagai cara sehingga jatuh-jatuhnya tiga kali lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah.
"Harga eceran tertinggi PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah PCR Ekspress, yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," kata Tulus.
Bisnis PCR harus ditertibkan pemerintah, atau aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat dibatalkan saja, karena tidak semua wilayah di Indonesia dapat menjalankan tes PCR dengan cepat, kata Tulus.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan," kata Tulus.
Apapun yang menjadi alasan pemerintah menerapkan aturan itu sulit diterima Asosiasi Pilot Garuda. Mereka memandang dari sudut pandang ekonomi. Aturannya dinilai memberatkan.
"Penerapan aturan itu sangat kami sayangkan mengingat pemulihan ekonomi dari sektor transportasi udara dan pariwisata dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan proses membaik yang cukup signifikan," ujar pelaksana tugas Presiden APG Capt Donny Kusmanagri.
Jika keterisian pesawat kembali turun, maka akan berdampak pada industri penerbangan yang sebenarnya saat ini tengah mengalami pemulihan, kata Donny.
"Namun ketika aturan persyaratan perjalanan moda transportasi udara diperketat kembali dengan aturan di atas, ini akan kembali memberatkan calon penumpang dan berdampak langsung kepada berkurangnya tingkat keterisian pesawat yang pada akhirnya memukul sektor pariwisata," kata dia.
Saat ini, teknologi pesawat sudah dilengkapi dengan HEPA filter yang berfungsi mencegah penularan virus di dalam pesawat.
Apalagi berdasarkan penelitian dari berbagai pihak menunjukkan angka penularan Covid-19 di pesawat sangat kecil dibandingkan dengan moda transportasi lainnya.
Protokol Kesehatan yang ketat serta persyaratan vaksinasi juga diterapkan baik bagi awak pesawat maupun penumpang.
"Mengingat dampak dari aturan tersebut terhadap industri penerbangan dan pariwisata, kami berharap agar kementrian dan pihak-pihak terkait melakukan peninjauan kembali dengan tetap memperhatikan kondisi perkembangan penanganan pandemi COVID-19 di lndonesia," kata Donny.
Mengapa ada aturan wajib?
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan alasan pemerintah menerapkan kewajiban tes PCR kepada penumpang pesawat untuk penerbangan domestik di wilayah Jawa-Bali dan non Jawa-Bali level 3 dan 4.
Aturan jaga jarak pada moda transportasi umum sekarang sudah dihapus atau kapasitas penumpang sudah 100 persen.
"Pengguna RT-PCR sebagai metode testing yang lebih sensitif dapat mendeteksi orang terinfeksi lebih baik daripada metode testing rapid antigen."
"Sehingga potensi orang terinfeksi untuk lolos dapat dicegah. Sehingga mencegah orang tersebut menulari orang lain dalam suatu tempat dengan kapasitas padat."
Aturan baru tersebut, Wiku menjelaskan merupakan bagian dari ujicoba pelonggaran mobilitas dengan prinsip kehati-hatian.
Wiku mengatakan pemerintah akan melakukan evaluasi kebijakan yang sekarang diterapkan dan tidak menutup kemungkinan adanya penyesuaian kebijakan di masa datang.
Pemerintah melihat risiko
Pemberlakuan syarat wajib tes PCR akan diperluas ke jenis transportasi yang lain, kata Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Jawa-Bali Luhut Binsar Panjaitan.
"Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya selama dalam mengantisipasi periode Nataru," kata Luhut.
Tapi Luhut belum mengungkapkan kapan aturan mulai diperluas.
Disebutkan pula, kebijakan wajib tes PCR baru diterapkan bagi penumpang penerbangan domestik dan bertujuan untuk menyeimbangkan pelonggaran aktivitas masyarakat, terutama sektor pariwisata.
"Perlu dipahami bahwa kebijakan PCR ini diberlakukan karena kami melihat risiko penyebaran yang semakin meningkat karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir," kata dia.
Selama periode libur natal dan tahun baru tahun 2020, mobilitas masyarakat tetap meningkat dan mengakibatkan lonjakan kasus, meskipun untuk melakukan penerbangan ke Bali mensyaratkan tes PCR bagi penumpang.
Pemerintah tidak ingin gegabah menginjak gas pelonggaran protokol kesehatan karena ancaman gelombang ketiga dapat saja terjadi seperti di negara-negara lain, kata Luhut. [rangkuman laporan Suara.com]