Suara.com - Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) menggelar diskusi virtual bertema “Proses Pembentukan Kebijakan Dalam Menentukan Langkah Strategis Pemerintah, Studi Kasus Industri Hasil Tembakau”.
Diskusi ini bertujuan membahas wacana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau yang ramai diperbincangkan (PP 109/2012).
Menurut akademisi UNJANI, rencana revisi PP 109/2012 sebaiknya tidak dilanjutkan karena tidak memiliki urgensitas dan sarat akan adanya intervensi asing yang mengganggu kedaulatan negara.
“Berkenaan dengan masalah revisi PP 109/2012 ini terdapat pihak tertentu yang mengganggu kedaulatan negara berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal kalau kita bicara mengenai industri hasil tembakau ini banyak menopang lapangan kerja, kehidupan masyarakat dan juga perekonomian nasional,” terang Pakar Hukum Internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Profesor Hikmahanto Juwana dalam paparannya ditulis Jumat (22/10/2021).
Baca Juga: Pekerja IHT Meminta ke Jokowi untuk Tak Naikkan Cukai Rokok
Belakangan, kata Hikmahanto, ia mendengar adanya LSM luar negeri yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
“Pemerintah sendiri sangat teguh untuk tidak mau diatur oleh negara lain ataupun LSM asing tersebut. Tapi bukannya tidak mungkin bahwa LSM asing ini menggunakan kekuatan uangnya untuk mempengaruhi pemerintah dalam membuat kebijakan,” ungkap Hikmahanto.
Di Indonesia sendiri, kata Hikmahanto, khususnya berkenaan dengan IHT, dari aspek kesehatan sudah ada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mana sudah ada aturan turunannya seperti PP 109/2012. Pengaturan yang lebih rendah berupa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan Peraturan Daerahnya juga sudah banyak.
“Kalau bicara soal kesehatan saya setuju untuk diselesaikan. Tapi ini ada LSM asing yaitu Bloomberg Philanthropies yang menyalurkan uang kepada LSM lokal untuk mendorong projek-projek yang ingin mematikan Industri Hasil Tembakau. Ini yang saya tidak setuju,” kata Hikmahanto.
Di waktu yang sama, Pengamat sekaligus Dosen dan Ahli Kebijakan Publik UNJANI, Riant Nugroho menilai, dalam konteks membuat kebijakan, pemerintah tidak bisa menyusun atas dasar kepentingan satu pihak saja. Begitupun dalam hal revisi PP 109/2012, yang mana pemerintah tidak hanya untuk melindungi kesehatan, melainkan juga melindungi semua pihak khususnya petani tembakau dan Industri Hasil Tembakau.
Baca Juga: DPRD Pertanyakan Dasar Seruan Gubernur Terkait Pelarangan Pajangan Rokok
“Pembuatan kebijakan yang unggul itu ada tiga ciri. Yakni harus cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan. Jadi proses revisi (PP 109/2012) yang hari ini dikerjakan, lebih baik berhenti dulu, back to zero, kemudian baru digagas, apakah kebijakan yang ada ini ada sudah mencapai hasil yang dulu dikehendaki, atau kurang, atau justru melebihi. Jadi, harus ada kajian kebijakan yang baik, baru kemudian disusun langkah selanjutnya. Pembuatan kebijakan pun, dalam demokrasi Pancasila yang dewasa, perlu melibatkan publik, yaitu mereka yang terdampak dengan kebijakan dan pakar kebijakan public,” demikian kata Riant Nugroho.
“Ingat, kebijakan publik yang unggul itu punya tiga ciri, cerdas, menyelesaikan masalah di inti permasalahan, bijaksana, menyelesaikan masalah tanpa membua masalah baru yang bahkan bisa lebih besar, dan memberi harapan kepada publik, bahwa kebijakan itu membawa kebaikan kepada kehidupan,” tambah Riant.
Selain itu, dalam pembuatan kebijakan pun, pemerintah tidak boleh mengikuti tren yang ada saat ini melainkan harus disusun berdasarkan kepentingan sosial, politik, ekonomi, infrastruktur dan keamanan nasional. Oleh karena itu, untuk mencapai delta dalam suatu regulasi harus ada hasil evaluasi yang benar dan baik berdasarkan kepentingan tersebut.
“Dalam membuat kebijakan, Pemerintah seyogyanya memperhatikan konstitusi. Pada pembukaan UUD 1945, ada janji bahwa Pemerintah dibuat untuk melindungi bangsa, menyejahterakan, mencerdaskan, dan mengkelas duniakan. Jadi, jika dibuat proksinya, maka 75% memenangkan kepentingan nasional (national interest), 23% memperhatikan kepentingan internasional, dan paling banyak 3% memperhatikan kepentingan lawan (enemy interest). Jangan terbalik, 75% ikut keinginan global, kemudian kepentingan lawan yang diam-diam mengancam, baru kepentingan nasional paling kecil. Nanti bisa dibilang policy maker negara jajahan atau dulu disebut kolonial Belanda sebagai “inlander”, yang takut dengan negara,” tegas Riant.
Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan, Fiskal, Pengendalian Aset, Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet, Trikawan Jati Iswono mengatakan, pemerintah sangat berhati-hati dan independen dalam menyusun sebuah peraturan.
Dalam hal rencana revisi PP 109/2021, pemerintah sejatinya tidak hanya fokus pada konteks kesehatan, melainkan dampak kepada IHT dan sektor terkait.
“Pemerintah juga tetap mempertimbangkan timing dan urgensi dari revisi peraturan ini. Saat ini dengan adanya pandemi, IHT sudah mendapat tekanan cukup berat. Ini yang harus jadi perhatian karena ini akan jadi basis penentuan kebijakan IHT,” terang Trikawan dalam paparannya.
IHT menurut Trikawan, selain berkontribusi terhadap ekspor juga memiliki kontribusi yang besar terhadap tenaga kerja. Berdasarkan catatannya, untuk pekerja di petani tembakau mencapai 2 juta orang, petani cengkeh sebanyak 1,5 juta orang, sementara tenaga pabrik menembus 600.000 orang dan pedagang ritel sekitar 2 juta orang.
Itu artinya, kebijakan terhadap sektor ini memiliki dampak yang besar, alhasil pemerintah sangat berhati-hati mengambil keputusan sehingga revisi aturan ini belum mendapatkan persetujuan.
Plt Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Roberia menjelaskan, dalam pembentukan RPP terdapat lima tahapan yang harus dilalui.
Pertama, tahap perencanaan yakni program penyusunan PP dan Izin Prakarsa. Kedua, tahap penyusunan yakni Panitia Antar Kementerian dan harmonisasi. Ketiga, tahap penetapan. Keempat, tahap pengundangan. Kelima, tahap penyebarluasan. Dalam hal revisi PP 109/2012, karena sudah melewati batas watu pengajuan Program Penyusunan.
Sehingga revisi PP itu diajukan melalui Izin Prakarsa. Namun, untuk Izin Prakarsa sendiri syaratnya adalah melakukan permohonan usulan dan alasan kenapa aturan tersebut direvisi.
“Dinamikanya bisa kita lihat apakah ada urgensi dalam revisi PP 109. Harus ada harmonisasi karena bisa saja kementerian satu bilang ini harus direvisi, kementerian yang lain mengatakan sebaliknya. Maka rapat harmonisasi harus terjadi,” tegas Roberia.