Suara.com - Kabut yang menyelimuti sebuah kota di pagi hari seringkali diamati sebagai proses terjadinya pengembunan secara alami. Pandangan itu ternyata keliru. Sebab, kabut yang terjadi sebenarnya merupakan sisa dari pembakaran karbon yang berasal dari ragam aktivitas manusia. Sebut saja penggunaan kendaraan bermotor di perkotaan, hingga menggunakan peralatan elektronik. Pembakaran karbon yang berasal dari knalpot dan peralatan elektronik disebut sebagai gas buang alias emisi.
Emisi adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Emisi karbon adalah salah satu jenis emisi gas rumah kaca yang menjadi salah satu penyumbang pencemaran udara yang berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan. Di sisi kesehatan misalnya, emisi yang mengudara ternyata berdampak terhadap kualitas nutrisi yang dimakan. Percaya atau tidak nutrisi yang terkandung di dalam beras atau nasi yang dikonsumsi setiap harinya oleh hampir seluruh penduduk Asia ternyata semakin berkurang. Musababnya adalah paparan korbondioksida (CO2) yang berlebihan terhadap tanaman.
Sementara di sisi lingkungan, emisi karbon dapat menyebabkan dampak besar seperti perubahan iklim yang tak menentu dan dapat mengakibatkan banjir, kelaparan, hingga ketidakstabilan ekonomi. Selain itu, jika dibiarkan terus menerus, emisi karbon juga bisa mengakibatkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global. Hal ini tentu sangat berbahaya untuk keberlangsungan hidup manusia yang ada di Bumi. Oleh karena itu, penting untuk mencegah pemakaian emisi karbon yang berlebihan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.
Makanya, ketika bumi semakin panas akibat global warming (pemanasan global), emisi karbon mulai menjadi sorotan para ilmuwan dunia. Di Indonesia sendiri, emisi karbon terus meningkat hingga mencapai 1.866.500 giga gram CO2 ekuivalen di tahun 2019. Global warming juga terbukti telah mengakibatkan perubahan iklim di Indonesia, seperti terjadinya perubahan cuaca jadi tidak menentu, banyak terjadi bencana, bencana kekeringan, kenaikan air muka laut dan dampak buruk lainnya.
Baca Juga: Pengamat Otomotif Nasional: Regulasi Carbon Tax Berdampak Pada Harga Jual Kendaraan
Oleh karena itu, 196 negara di dunia, termasuk Indonesia akhirnya menandatangani Paris Agreement 2015. Paris Agreement adalah kesepakatan lingkungan yang terjalin oleh hampir setiap negara termasuk Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya. Kesepakatan ini dibuat bertujuan untuk secara berkelanjutan mengurangi emisi gas karbon dalam upaya membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius dan berusaha untuk membatasi perubahan temperatur suhu setidaknya menjadi 1,5 derajat. Perjanjian tersebut mencakup komitmen dari semua negara penghasil emisi karbon setiap harinya untuk mengurangi polusi yang mengubah iklim mereka dan untuk memperkuat komitmen tersebut dari waktu ke waktu.
Perjanjian itu kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framwork Convention on Climat Change. Setiap negara yang menandatangani Paris Agreement wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi langkah-langkah penurunan emisi gas rumah kaca masing-masing.
Dalam NDC tahap I (2020-2030), Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 20% secara mandiri atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Indonesia juga mencatatkan net zero emission paling lambat pada 2060. Porsi pengurangan tertinggi gas rumah kaca adalah sebesar 24%, sektor energi 15,5%, limbah 1%, industrial processes and product use (IPPU) 0,11%, dan pertanian 0,13%. Untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU), pada 2030 tercapai net sink (penyerapan bersih) karbon.
Kementerian PUPR Bangun Infrastruktur Hijau
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) turut berpartisipasi dalam mengendalikan perubahan iklim melalui berbagai pembangunan infrastruktur. Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian PUPR. Salah satunya adalah mendorong penerapan ketentuan Bangunan Gedung Hijau (BGH) sesuai amanat PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang dilengkapi dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau. Lewat aturan ini, Kementerian PUPR terus mendorong penerapan bangunan gedung hijau dan berperan sebagai regulator dan operator penyelenggaraan konstruksi gedung hijau yang berkualitas dan efisien.
Baca Juga: Pajak Emisi Karbon Diprediksi Matikan Industri Komponen BBM Dalam 10 Tahun
Prinsip-prinsip bangunan gedung hijau meliputi pengurangan sumber daya (lahan, material, air, sumber daya alam dan sumber daya manusia), pengurangan timbulan limbah, penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan sebelumnya, penggunaan sumber daya hasil siklus ulang, perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian, mitigasi risiko keselamatan kesehatan perubahan iklim dan bencana. Hal yang paling utama dalam penerapan bangunan gedung hijau adalah harus terpenuhinya standar teknis bangunan gedung.
Direktorat Jenderal Cipta Karya sebagai salah satu unit kerja di bawah Kementerian PUPR mulai turut mengimplementasikan prinsip-prinsip Bangunan Gedung Hijau dengan melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana permukiman kota yang rendah emisi karbon. Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, Kementerian PUPR bersinergi untuk mewujudkan ruang perkotaan yang berkualitas melalui perencanaan yang baik dengan menerapkan 8 atribut kota hijau.
Secara fisik, hal ini diwujudkan dengan pembangunan Rumah Susun Hemat Energi di Kota Tegal, Jawa Tengah (Jateng). Pembangunan rusunami tersebut menggunakan teknologi perancangan desain yang pasif. Dalam perancangan desain pasif, sumber daya alam dimanfaatkan untuk menciptakan kenyamanan thermal di dalamnya. Jadi meminimalkan penggunaan energi listrik seminimal mungkin. Penggunaan teknologi perancangan desain pasif menerapkan sejumlah prinsip. Salah satunya adalah mencegah panas dari luar masuk ke ruangan. Prinsip lainnya yang diperhatikan yakni membuang sebanyak mungkin panas di dalam ruangan. Hal ini diterapkan dengan pembuatan tempat khusus di dak atas untuk ventilasi. Itu berguna untuk mendinginkan struktur. Jadi nanti struktur yang dingin akan mendinginkan udara di ruangan tanpa penggunaan energi berlebihan untuk pendinginan udara. Selain itu, struktur bangunannya juga sudah dirancang agar tahan dari goncangan gempa. Agar tahan gempa, pondasi bangunan ditanam di tanah dengan kedalaman hingga 30 meter lebih. Pembangunan rusunami tersebut juga menyesuaikan dengan kondisi iklim di Kota Tegal. Tim peneliti sebelumnya sudah melakukan kajian ihwal iklim di Kota Bahari mulai dari suhu udara, kelembaban hingga arah mata angin.
Selain dari udara, upaya mengurangi karbon dari sektor persampahan juga dilakukan. Upaya mengurangi karbon di sector persampahan dilakukan dengan melanjutkan program-program pengelolaan sanitasi (air limbah domestik dan persampahan) melalui pelaksanakan kegiatan yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN 2020-2024 diamanatkan bahwa 100% sampah perkotaan dikelola dengan baik melalui 80% penanganan dengan memberikan dukungan kepada pemerintah daerah berupa penyediaan infrastruktur Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan 20% pengurangan sampah yaitu melalui penyediaan Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reuse, Reduce, and Recyle (TPS 3R) dan penyediaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) setiap tahunnya.
Secara konkret, program-program pengelolaan sanitasi dan persampahan yang telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya, mendukung program Citarum Harum sebagai kelanjutan kegiatan HHD-HKD tahun 2019 dengan Sanimas di 212 lokasi dan TPS3R di 98 lokasi untuk mengurangi pencemaran dari buangan limbah domestik di Sungai Citarum. Gerakan TPS3R merupakan pola pendekatan pengelolaan persampahan pada skala komunal atau kawasan dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan pemerintah. Kementerian PUPR juga berupaya melakukan inovasi terkait pengurangan emisi karbon dari sektor persampahan dengan sanitary landfil dan moderenisasi TPA yang dilengkapi oleh teknologi flaring atau waste to energy yaitu penangkapan gas methan yang mengolah gas methan menjadi biogas untuk kepentingan pembangkit listrik. Seperti yang telah diterapkan di 13 kota, salah satunya di TPA Bantargebang Kota Bekasi.
Kurangi Emisi, Dimulai Dari Kita
Namun upaya – upaya penahanan laju kenaikan suhu dan pencegahan perlu dilakukan secara bersama dan berkelanjutan. Lalu bagaimana cara kita berprilaku bijak dan ikut berpartisipasi dalam pengurangan polusi karbon yang ada di bumi ini. Sebenarnya banyak hal yang bisa lakukan untuk tidak menyumbang dalam penambahan emisi karbon itu antara lan :
1. Mengurangi penggunaan bahan bakar fossil (minyak, natubara dan gas) seperti lebih memilih menggunakan sepeda atau jalan kaki untuk jarak dekat atau angkutan umum untuk jarak jauh dalam beraktivitas sehari-hari
2. Menerapakan prinsip 3R (Reduce,Reuse, Reclye) dalam pengelolaan sampah dan limbah yang kita hasilkan
3. Mengkonsumsi makanan organik atau go local untuk pilihan menu masak dan makanan kita di rumah
4. Mengurangi konsumsi makanan dengan jejak karbon produksi tinggi seperti daging dan kopi
5. Miliki hobby berkebun dan bercocok tanam
6. Berperilaku hemat energi seperti hemat listrik hemat air dan sumber daya alam lainnya
7. Ikut komunitas pecinta lingkungan dan reforestry.
Ayo kita jaga dan sayangi bumi kita ini. Bijak berperilaku dan lindungi bumi dari pencemaran karbon.
Indah Raftiarty ER
Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR