Suara.com - Apakah selisih pembayaran dalam sistem bank syariah adalah bunga? Jika demikian apakah bank syariah riba? Pertanyaan-pertanyaan ini pasti masih sering terdengar di kalangan umat Islam.
Sementara itu menurut ulama yang dilansir dari Syariah Wealth Management, bank syariah menjadi terobosan dari praktik bank konvensional.
Dalam sistem bank syariah, lembaga keuangan menyalurkan pihak ketiga milik nasabah untuk dikelola berdasarkan akad-akad yang diperbolehkan dalam syariah Islam. Hal ini berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang menambahkan bunga sehingga tergolong riba.
Terkait sistem yang diperbolehkan Islam tersebut, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan antara nasabah dan bank memiliki akad dalam penyelenggaraan tabungan atau pinjaman secara syariah.
Baca Juga: 15 Jenis Tanaman Hias Gantung Paling Populer 2021, Ada Oxalis hingga Sirih Gading
Mengutip situs resmi MUI, tabungan yang dibenarkan dalam perbankan syariah adalah yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Konsep mudharabah menempatkan nasabah sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang mempercayakan simpanannya pada bank. Bank berperan sebagai pengelola dana (mudharib) dengan melakukan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Dana dari nasabah ini disalurkan untuk kegiatan usaha produktif. Nasabah bisa mendapatkan porsi keuntungan dari pengelolaan dana sesuai yang disepakati sebelumnya.
Sementara itu, wadi'ah dijelaskan sebagai dana yang dititipkan nasabah ke bank syariah. Artinya, simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. Ciri dari tabungan wadi’ah ini tidak dikenai biaya pemeliharaan rekening, bebas administrasi dan tidak ada bagi hasil.
Sistem Bagi Hasil
Baca Juga: Hukum Meminjam Uang di Bank untuk Membahagiakan Orang Tua
Mengutip Fatwa DSN MUI Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), bahwa mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 persen kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
Mudharib (pengelola usaha) boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Dalam fatwanya, MUI menegaskan LKS sebagai penyedia dana wajib ikut menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni