Suara.com - Penerbitan Seruan Gubernur DKI Jakarta No. 8/2021 tentang larangan menampilkan produk industri hasil tembakau (IHT) dinilai melampaui perundangan yang lebih tinggi.
Sejauh ini, penerbitan Seruan Gubernur (Sergub) telah memicu polemik yang luas. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mempertanyakan dasar dari Sergub tersebut.
"Kami mempertanyakan dasar dari aturan tersebut. Apakah yang menjadi dasarnya. Atau hanya ujug-ujug? Kalau mau diberlakukan harus dilihat dasarnya apa" ujar Gilbert ditulis Kamis (14/10/2021).
Seruan tersebut dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada Juni lalu dan dinilai berdampak tidak hanya bagi industri ritel di sektor hilir, tetapi juga kepada jutaan petani tembakau dan cengkih.
Terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto menilai penerbitan Sergub ini hanya manuver politik yang berpotensi melanggar peraturan yang lebih tinggi.
“Tujuannya apa kalau tidak mencitrakan bahwa rokok yang sejatinya legal dan ada regulasinya, seolah menjadi barang yang berbahaya. Apalagi dengan show off nya Pemprov DKI yang mengerahkan Satpol PP,” katanya.
Menurutnya, alih-alih mengendalikan konsumsi tembakau, Sergub ini justru mematikan perdagangan dan industri.
“Kalau sudah begitu, berarti buruh dan petani tembakau tidak boleh hidup,” tegas Sudarto.
Sebelumnya, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpandangan bahwa kebijakan Pemprov DKI bertentangan dengan peraturan yang lain, seperti Peraturan PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Baca Juga: Jadi Sumber Kemiskinan, Ternyata 33,8 Persen Orang Indonesia Asyik Merokok
Trubus mengatakan dalam PP tersebut rokok diizinkan untuk ditampilkan di reklame dalam ruang. Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 54/PUU-VI/2008 dan 6/PUU-VII/2009.