Suara.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan menyetujui Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi UU dalam rapat Paripurna Masa Sidang ke-7 di Gedung DPR RI, Kamis (7/10/2021).
Dalam UU HPP tersebut nantinya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami peningkatan tarif dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun depan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly mengatakan meski mengalami kenaikan tarif PPN dia bilang tarif ini masih tergolong paling murah dibandingkan dengan sejumlah negara yang lain.
"Secara global tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen dan lebih rendah dari China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen dan India 18 persen," kata Yasonna di Gedung DPR RI, Kamis (7/10/2021).
Baca Juga: Ekonom Prediksi Dampak Kenaikan PPN 10 Persen Jadi 11 Persen
Ekonom Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus pun menilai rencana ini akan kembali menggerus daya beli masyarakat, imbasnya tingkat konsumsi diprediksi menurun.
"Kalau ada kenaikan PPN akan memperlambat proses daya beli masyarakat yang berdampak pada proses pemulihan," ungkap Ahmad dalam Diskusi Publik Menakar Untung Rugi RUU HPP secara virtual, Rabu (6/10/2021).
Ia memprediksi kenaikan tarif PPN akan menurunkan konsumsi masyarakat menjadi 2,05 persen. Lalu, upah riil turun 6,2 persen, ekspor hanya tumbuh 1,91 persen, dan impor tumbuh 3,3 persen.
Ujung-ujungnya kata dia akan makin menekan pertumbuhan ekonomi, dimana kontribusi konsumsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar.
Tak hanya itu kata dia neraca perdagangan juga akan terancam kembali ke jalur defisit.
Baca Juga: Tarif PPN Naik 11 Persen Tahun Depan, Daya Beli Diprediksi Melorot
Untuk itu, ia tak sepakat jika pemerintah mengerek tarif PPN tahun depan. Menurutnya, ada upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara.
"Melalui penjaringan wajib pajak baru, salah satunya penertiban retail-retail non PKP (pengusaha kena pajak) yang menggunakan fasilitas non PKP. Ini bisa melalui penurunan ambang batas PKP Rp4,8 miliar menjadi lebih rendah," papar Ahmad.
Lalu, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak yang disesuaikan dengan struktur ekonomi dan karakteristik kelompok masyarakat. Kemudian, memperluas objek cukai dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).