Suara.com - Seruan Gubernur DKI Jakarta No. 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok diyakini memberikan efek domino dan diskriminatif. Tidak hanya berdampak bagi pekerja sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan peritel, tetapi juga menambah beban ekonomi masyarakat yang bergantung pada industri tembakau di tengah pandemi Covid-19.
Seruan yang dikeluarkan oleh Anies Baswedan ini dinilai semakin menekan dan memperburuk tantangan yang sudah dirasakan seluruh rantai industri ritel di hilir, tetapi juga akan berdampak kepada jutaan petani tembakau dan cengkeh di hulu.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esa Suryaningrum mengatakan langkah Pemprov DKI tersebut seharusnya ditinjau secara matang, mempertimbangkan efek domino yang menjadi dampaknya.
Seruan yang mengetatkan peredaran produk IHT di tengah tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan melemahnya permintaan pasar seperti ini akan memunculkan dampak sistemik. Menurut Esa, seharusnya kebijakan terkait industri yang signifikan seperti sektor IHT dilakukan secara hati-hati dan selaras.
Baca Juga: Gerakan Anti Rokok Rugikan Industri Tembakau
Kebijakan yang serampangan seperti Sergub DKI No. 8/2021 diyakni bisa mengancam mata pencaharian jutaan tenaga kerja di dalam mata rantai IHT dan ritel. Sektor ini tengah menghadapi imbas dari berkurangnya jam operasional baik di tempat usaha maupun pabrik.
"Jadi, pemerintah perlu memikirkan dampak ekonominya. Dampaknya tidak hanya kepada industrinya saja, tapi juga kepada banyak pihak yang bergantung pada industri rokok, termasuk petani tembakau," ujar Esa.
Dia menyontohkan, terjadinya pemutusan hubungan kerja pekerja pabrik rokok akibat himpitan atas industri tersebut akan menurunkan permintaan terhadap komoditas tembakau yang otomatis akan menghentikan petani menanam tembakau. Inilah dampak sistemik dari kebijakan terhadap IHT yang tak selaras.
"Kalau pemerintah ingin mengurangi jumlah perokok, cara yang paling efektif justru adalah dengan komunikasi publik. Bukan dengan menurunkan baliho rokok. Itu tidak efektif. Jadi, dari aspek kesehatan harus dikomunikasikan," sambungnya.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Departemen Minimarket Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Gunawan Baskoro mengatakan seruan gubernur ini akan makin menekan kinerja ritel secara keseluruhan.
Baca Juga: Bara Rokok Pengendara Motor Mengenai Pengguna Jalan, Ingat Sanksi Hukum Menanti
Seperti yang diketahui ritel di segmen toko swalayan, kelontong, supermarket, dan department store sudah banyak yang berguguran sepanjang pandemi. Tidak kurang ada lebih dari 1.500 gerai yang sudah tutup permanen sepanjang dua tahun terakhir.
“Kami sudah tunaikan semua kewajiban, bukannya didukung malah makin ditekan,” kata Gunawan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengungkapkan kehadiran Sergub DKI No. 8/2021 seolah kebijakan latah pemerintah daerah yang mau memusuhi industri tembakau.
Menurut Soeseno, saat ini tercatat ada sekitar 300 peraturan daerah (perda) senafas yang seakan membidik produk IHT sebagai sasaran penghancuran. "Perda-perda itu ada yang eksesif sekali. Di Jakarta sekarang, pemajangan rokok malah tidak boleh,” paparnya.
Munculnya kebijakan seperti Sergub DKI No. 8/2021, tegas Soeseno mencerminkan bahwa pembuat kebijakan semakin menyudutkan produk rokok dan kegiatan merokok yang sejatinya legal. Kebijakan tersebut, menurut Soeseno, sangat diskriminatif.
"Semua upaya mau dilakukan untuk menghancurkan sektor pertembakauan. Petani tembakau bukan dibina tetapi dibinasakan,” tutupnya.