Suara.com - Diam-diam pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat membawa Rancangan Undang Undang (RUU) Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang kini berubah namanya menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ke dalam rapat Paripurna DPR pada pekan ini.
Situasi ini pun menjadi tanda tanya bagi Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid. Dia mengemukakan, jika pemerintah seolah-olah sangat terburu-buru dalam mengesahkan RUU HPP ini.
"Kami melihat memang kenapa ini didahulukan dan mulai 2022 (diimplementasikan)," katanya dalam sebuah webinar yang digelar pada Rabu (6/10/2021).
Dia pun kemudian menduga-duga, pengesahan RUU HPP untuk mengejar penurunan target defisit APBN yang saat ini melonjak tinggi akibat pandemi Covid-19.
Baca Juga: DPR Sahkan RUU KUP Jadi HPP, Sembako Hingga Sekolah Bebas dari Pajak
"Karena target defisit 3 persen pada 2023 (harus kembali)" katanya.
Memang saat ini, sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2020, defisit APBN boleh melebihi dari 3 persen karena adanya Pandemi Covid-19.
Sebagai catatan, tahun ini saja defisit APBN diperkirakan mencapai 5,7 persen, sementara pada tahun 2022 ditargetkan 4,85 persen.
Lantaran itu, dia mengemukakan, dengan harus kembalinya defisit APBN di level 3 persen ke bawah, Tauhid menekankan, pemerintah membutuhkan penambahan penerimaan negara sebesar Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun pada 2023, sehingga regulasi terkait penerimaan negara lewat RUU HPP bisa dimaksimalkan.
"Kita butuh Rp 600 triliun- Rp 700 triliun pada 2023 maka tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak itu sangat sulit target defisit dicapai," katanya.
Baca Juga: Puan Maharani Terima 5 Surat dari Jokowi, Salah Satunya soal RUU KUP