Suara.com - Dalam beberapa bulan terakhir hampir setiap hari muncul berita pemerintah China menindak pelaku bisnis yang "menyimpang" atau hal-hal yang dipandang "tidak beres".
Banyaknya pengumuman peraturan baru yang keras dan penegakan peraturan yang sudah ada secara ketat.
Target "operasi" ini adalah perusahaan-perusahaan kelas kakap di negara itu.
Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya mengenai perkembangan terkini di China, langkah-langkah itu merupakan bagian dari kebijakan terpusat yang digagas Presiden Xi Jinping, disebut inisiatif "kemakmuran bersama."
Baca Juga: Babak Kedua: Persib Bandung Masih Unggul 1-0 Lawan Bekasi FC
Ini istilah yang tidak asing lagi di China. Bahkan sudah muncul sejak tahun 1950-an, saat digunakan oleh pemimpin pertama Republik Rakyat China, Mao Zedong.
Baca juga:
- Mengapa Xi Jinping memimpin China kembali ke sosialisme
- China ajarkan ideologi Xi Jinping di sekolah, mengapa sampai jadi kewajiban?
- Siapa Ren Zhiqiang, eks taipan real estat China dan pengkritik Xi Jinping yang dipenjara 18 tahun
Sejak peringatan HUT ke-100 Partai Komunis China (PKC) beberapa waktu lalu telah jadi sinyalemen bahwa istilah itu kembali digunakan sebagai pedoman kebijakan pemerintah pusat.
Kunci dari kebijakan tersebut adalah upaya pemerintah untuk mengatasi jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin di negara itu.
Namun, sebagian pihak menilai kebijakan baru itu justru berpotensi membahayakan kebangkitan ekonomi terbesar kedua di dunia itu sekaligus menimbulkan ancaman eksistensial bagi PKC.
Baca Juga: Satu-satunya di Dunia, Museum Khusus Semangka di Beijing China
Langkah-langkah keras yang diterapkan belakangan ini juga dipandang sebagai cara untuk mengendalikan para konglomerat yang telah bermunculan dengan pesatnya sekaligus memberi lebih banyak ruang bagi konsumen dan pekerja di perusahaan mereka untuk bersuara terkait bagaimana menjalankan usaha sekaligus mendistribusikan pendapatan.
'Gerakan lokal yang berdampak global'
Sejak muncul retorika itu dari Beijing, dalam beberapa bulan terakhir telah terjadi sejumlah tindakan penertiban terhadap berbagai kepentingan bisnis di China.
Mulai dari agen asuransi, firma les privat, pengembang real estat bahkan hingga perusahaan-perusahaan yang berencana menjual saham di AS - semua langsung mendapat pengawasan.
Industri teknologi, pada khususnya, telah mengalami sejumlah tindakan dari pihak berwenang, termasuk penertiban atas firma-firma e-commerce, layanan keuangan daring, platform media sosial, pembuat gim, penyedia komputasi awan, ojek online, hingga penambang dan jual-beli uang kripto.
Penertiban itu tentu saja memberi dampak besar bagi perekonomian dan masyarakat China, bahkan efeknya juga bisa terasa ke penjuru dunia.
China sudah lama dikenal sebagai pabriknya dunia, sekaligus juga mesin utama bagi pertumbuhan ekonomi global.
Kini, ketidakpastian seputar regulasi bisnis di China membuatnya sulit bagi perusahaan-perusahaan dari luar negeri untuk membuat keputusan menyangkut potensi investasi mereka di sana.
Meskipun cara lain untuk melihatnya adalah bahwa sementara waktu akan ada beberapa pergolakan jangka pendek ketika aturan baru diterapkan, bisa jadi aturan itu akan menghilangkan ketidakpastian dalam jangka panjang.
Agaknya, begitulah pandangan pemerintah China, setidaknya.
Menghantam si 'Semut' perkasa Jack Ma
Bahkan sebelum jelas terlihat bahwa Presiden Xi Jinping akan membentuk ekonomi China dengan kebijakan kemakmuran bersama yang dibuatnya, Beijing memperlihatkan kuasa besarnya.
Belum sampai setahun yang lalu, Jack Ma, konglomerat pendiri Alibaba yang terkenal berpenampilan flamboyan di banyak acara, bersiap untuk memulai debut perusahaannya di pasar saham, yang digadang-gadang bernilai paling besar di dunia.
Penawaran saham perdana ke publik dari Ant Group - afiliasi keuangan Alibaba dan pemilik Alipay sebagai platform pembayaran terbesar di China, saat itu diperkirakan bakal meraup US$34,4 miliar (lebih dari Rp491 triliun)
Bila IPO itu lancar, ini akan membuat Jack Ma sebagai orang terkaya di Asia. Namun, suatu ketika, dia membuat pidato kontroversial, yaitu mengritik sistem keuangan China.
Hanya dalam hitungan hari, penjualan saham Ant Group itu batal dan setelah sering tampil di berbagai acara penting, Ma pun lama tak terlihat lagi hingga Januari lalu.
Sejak itu, Alibaba diganjar denda US$2,8 miliar (Rp40 triliun lebih) setelah penyelidikan pihak berwenang China menyatakan perusahaan itu menyalahgunakan posisi pasarnya selama bertahun-tahun.
Grup Ant pun mengumumkan rencana restrukturisasi yang drastis atas semua bisnisnya.
Apakah itu bagian dari inisiatif kemakmuran bersama, bisa kita serahkan kepada para sejarawan untuk menjelaskannya di masa datang.
Apa yang bisa kita sampaikan adalah bahwa kejatuhan spektakuler Ma dari puncak kejayaan dan aksi atas kekaisaran bisnisnya yang luas menggambarkan potongan cerita pembuka yang luar biasa dari pertunjukan yang kini menjangkau setiap sudut ekonomi China.
Baca juga:
- Sempat hilang dari publik, mengapa pendiri Alibaba Jack Ma kembali 'tiarap'
- China denda Alibaba milik Jack Ma Rp43 triliun, peringatan untuk perusahaan teknologi lain?
- Sempat menghilang dari publik sejak Oktober, Jack Ma muncul dalam acara amal
Menara utang yang tertatih-tatih
Evergrande Group merupakan contoh lain raksasa bisnis yang sudah ditentukan nasibnya dengan kebijakan kemakmuran bersama
Bisnis intinya adalah pembangunan real estat namun perusahaan itu juga meluaskan sayapnya ke usaha manajemen kekayaan, mobil listrik, dan industri makanan dan minuman. Perusahaan itu bahkan pemilik salah satu klub sepak bola terbesar di China, Guangzhou FC.
Evergrande dikelola oleh konglomerat Hui Ka Yan. Dia sempat menjadi orang terkaya se-Asia pada 2017, menurut Forbes.
Namun krisis utang yang melanda Evergrande dalam beberapa pekan terakhir turut mengguncang pasar-pasar keuangan dunia.
Saat merintis jalan menjadi pengembang real estat terbesar di China, Evergrande terlilit utang lebih dari US$300 miliar alias Rp4.260 triliun.
Beijing kini melihat perusahaan-perusahaan properti yang berutang besar sebagai ancaman ekonomi. Maka, Evergrande masuk dalam kategori itu saat Beijing memangkas pinjaman di sektor properti.
Kini, tanpa ada injeksi utang baru, Evergrande tengah kesulitan untuk membayar utang-utang yang sudah ada.
Berlandaskan doktrin kemakmuran bersama, pihak berwenang lebih condong membantu pembeli properti Evergrande dan nasabah bisnis manajemen kekayaan yang dikelolanya ketimbang menolong perusahaan itu dan para krediturnya, seperti pemilik surat utang dan bank.
Baca juga:
- Siapa Xu Jiayin, pendiri Evergrande, pengembang properti China yang punya utang US$300 miliar
- Orang super kaya Indonesia diperkirakan akan naik 67%, melebihi China dan India
Langkah itu baru diterapkan pekan ini saat bank sentral China, tanpa menyebut langsung Evergrande, bertekad untuk melindungi konsumen yang terpapar pada pasar perumahan.
Ini kian menambah pusing pasar-pasar keuangan saat nilai perusahaan itu di bursa saham sudah berkurang lebih dari 80 persen hanya dalam kurun enam bulan terakhir.
Pertarungan besar di bisnis gim
Saat awal Agustus lalu media pemerintah China menyebut gim daring (online) sebagai "candu spiritual" maka ini dianggap sebagai bendera merah.
Kabar itu membuat saham pembuat gim seperti Tencent dan NetEase turun drastis. Para pelaku industri gim pun kini menghadapi aturan baru yang ketat.
Seperti sudah diperkirakan, akhir bulan yang sama pihak berwenang mengungkapkan rencana untuk menertibkan para pemain gim di bawah umur sekaligus menerapkan regulasi yang lebih ketat kepada pembuatnya.
Anak-anak berusia di bawah 18 tahun hanya boleh bermain selama satu jam setiap hari Jumat, akhir pekan, atau saat hari libur.
Waktu mainnya pun ditentukan, yaitu antara pukul 20.00 hingga 21.00.
Soal teknis penerapannya diserahkan kepada pembuat gim masing-masing. Pihak berwenang menyatakan hanya mengawasi dengan lebih ketat untuk memastikan perusahaan-perusahaan gim itu mematuhi aturan baru.
Beijing menegaskan bahwa penertiban ini akan terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Bulan lalu, pemerintah pusat juga menerbitkan rencana sepuluh poin yang akan berlangsung hingga akhir 2025. Isinya berupa panduan bagi seperangkat aturan yang lebih ketat atas ekonomi.
Belum jelas seberapa radikal aturan-aturan baru itu bagaimana penegakannya akan membentuk perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Hasilnya kemungkinan besar bisa berdampak juga bagi kita semua, baik yang tinggal di dalam atau di luar China.
Ini adalah bagian kedua dari tiga seri mengenai perubahan peran China di dunia.
Bagian ketiga akan mengeksplorasi implikasi global dari transformasi Beijing dalam menjalankan semua bisnis milik pemerintah China.