“Mau petani komoditas makanan, termasuk petani tembakau, tidak pernah disentuh oleh pemerintah. Pemerintah harus melihat potensi, bukan hanya melihat keuntungan untuk menutup defisit ekonomi. Petani juga butuh didampingi dalam manajemen pertanian, misalnya dari sisi grading dan penjualan,” tutur AB Widyanta
Tak hanya petani, AB Widyanta juga menyoroti dampak kenaikan CHT pada kondisi buruh pabrik (sektor formal maupun informal), terutama yang berkaitan dengan sigaret kretek tangan (SKT).
Jika CHT dinaikkan dan produksi rokok semakin menurun, maka para pekerja di sektor padat karya seperti SKT yang mayoritas perempuan akan terdampak langsung dengan pengurangan jam kerja hingga pengurangan upah.
“Nah, mereka ini seharusnya perlu diberdayakan, ditingkatkan kualitasnya agar bisa mandiri dan sejahtera,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, antropolog Yahya berpendapat bahwa saat ini terlihat Pemerintah menerapkan kebijakan yang tendensius pada sektor kesehatan saja dan tidak membuat kebijakan yang berimbang.
“Kebijakan soal rokok itu selalu dikaitkan dengan kesehatan, baik CHT maupun regulasi lain. Tendensius sekali. Padahal seharusnya kebijakan itu berimbang, lihat dampak ke semua sektor. Pemerintah harus fair. Industri dengan 6 juta orang yang terlibat di dalamnya mau dikemanakan?” papar Yahya.
Di tengah pandemi yang masih berlangsung, Yahya berpandangan bahwa seharusnya pemerintah bisa lebih bijak dengan memprioritaskan hak-hak ekonomi masyarakat. Mulai dari petani tembakau, buruh rokok hingga pedagang yang sedang berjuang untuk bisa kembali bangkit dan mandiri secara ekonomi.
“Terutama di sisi petani tembakau ya, pemerintah seharusnya membantu petani melestarikan tembakau karena itu adalah cultural heritage. Sudah mandarah daging di petani,” tutupnya.
Baca Juga: Cukai Hasil Tembakau Dikabarkan akan Naik, Ini Permintaan Buruh