Pengamat Sebut Asing Coba Intervensi Kebijakan IHT Dalam Negeri

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 20 September 2021 | 15:36 WIB
Pengamat Sebut Asing Coba Intervensi Kebijakan IHT Dalam Negeri
Tembakau merupakan bahan utama rokok. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar Hukum Internasional Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) Profesor Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa ada upaya asing dalam mengambil pangsa pasar perokok Indonesia melalui intervensi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012).

“Banyak negara yang ingin ambil pangsa pasar perokok Indonesia sementara mereka punya Industri Hasil Tembakau (IHT) sendiri. Kita sudah begitu sejak lama, industri migas sudah hilang, industri hutan sudah hilang, minerba juga. Masa sekarang IHT juga mau dihilangkan begitu,” ungkap Hikmahanto dalam acara diskusi Bedah Proses Legislasi Industri Hasil Tembakau ditulis Senin (20/9/2021).

Menurut Rektor UNJANI ini, Indonesia memiliki pasar perokok yang besar dan banyak negara yang berniat menekan pasar domestik. Selain itu, Indonesia juga memiliki kemampuan ekspor tembakau dalam jumlah yang besar sehingga banyak negara lain khawatir Indonesia menguasai pangsa pasar perokok secara global.

“Karena bahwa sekarang dunia ini sudah tidak lagi berebut wilayah, juga tidak lagi berebut pengaruh, yang diperebutkan adalah pangsa pasar. Kita harus hati-hati,” tegas Hikmahanto.

Baca Juga: Aksi Menolak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau di Tahun 2022

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor hasil IHT terbesar di dunia. Saat ini nilai ekspor produk IHT dari Indonesia mencapai 1,1 milyar USD. Dia mengamati bahwa ada aktor asing yang melakukan intervensi terhadap kebijakan IHT dalam negeri.

Mereka masuk ke Indonesia melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal. Menurutnya, LSM lokal mendapatkan suntikan dana dari perusahaan luar negeri untuk melakukan aksinya dalam mempengaruhi kebijakan IHT di Indonesia.

“Mereka ini LSM sebenarnya dikelola secara besar budget planning-nya. Ini perusahaan yang buat LSM untuk berperan dalam melobi. Sistematis. Beda seperti LSM Indonesia untuk kepentingan mereka. Telusuri saja LSM namanya siapa, pendananya siapa, maunya apa dan sebagainya,” katanya Hikmahanto.

Dia meminta agar pemerintah tidak bersifat naif ketika didekati LSM asing. Pemerintah, lanjutnya, sebaiknya lebih mengutamakan aspirasi rakyat dibandingkan dengan intervensi dari luar. Ia juga meminta agar pemerintah melindungi sektor IHT yang memiliki pasar besar di Indonesia.

“Wahai pemerintah dengarkan aspirasi rakyat. Jangan kemudian didengar yang dari luar negeri tapi melupakan rakyat kita, padahal konstituen kita adalah rakyat,” pungkasnya.

Baca Juga: Para Petani Tembakau di Jawa dan NTB Lantunkan Doa Bersama

Dalam acara yang sama, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, ada industri terkait yang mendorong revisi PP 109/2012, seperti industri farmasi atau obat-obatan sebagai kompetitor atau dalam bentuk yang lain.

“Soal ini harus ditelusuri dari mana, pasti akan ada induk semangnya, itu pasti ada sponsornya. Karena ini sesuatu yang sifatnya besar. Kita tidak bisa melihatnya satu hal saja yg non-IHT,” ujar Trubus.

Trubus juga mengatakan bahwa revisi PP 109/2012 tidak urgen dilakukan. Menurutnya Pemerintah seharusnya mendengar aspirasi dari publik terutama yang berkaitan dengan IHT dan jangan hanya mengutamakan satu aspek.

Peraturan Pemerintah yang berdampak terhadap masyarakat luas dan menyangkut kepentingan banyak pihak harus lebih dahulu dikonsultasikan dan mendapatkan persetujuan lintas Kementrian terkait.

Demikian juga halnya dengan revisi PP 109/2012 yang akan berdampak kepada nasib lebih dari 5,98 juta jiwa yang menggantungkan mata pencahariannya pada sektor pertembakauan dan mempengaruhi penerimaan negara yang diterima melalui cukai rokok.

"Bagaimana kedaulatan negara ada, kalau kedaulatan publik tidak ada. Publik ada legal standing, knowledge dan practice yang tidak bisa dipaksa dari intervensi luar. Sehingga lebih baik pemerintah harus dengar dulu suara publik,” tutup Trubus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI