Suara.com - Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta nomor 8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok ditentang banyak pihak. Beleid yang melandasi aksi penindakan Satpol PP menutup pajangan bungkus rokok di minimarket dan supermarket belakangan ini dinilai mematikan dunia usaha sekaligus cacat hukum. Sejumlah elemen masyarakat sontak menuntut untuk mencabut Sergub.
Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menyebut Sergub ini berlebihan dan mengganggu iklim usaha. Apalagi dengan adanya penindakan dari Satpol PP ke gerai-gerai minimarket dan supermarket. Alasannya, baik dari regulasi terhadap rokok maupun peredaran penjualannya sudah diatur sangat ketat.
“Berdagang di Indonesia itu penuh tantangan, kami selama ini sedikit dibantu tapi banyak diganggu, tapi pemerintah berharap adanya pertumbuhan saat ini karena pandemi. Kami sebagai ritel butuh kepastian usaha,” kata Tutum ditulis Sabtu (18/9/2021).
Saat ini, industri ritel nasional tengah memikul banyak tekanan sebagai imbas dari pandemi COVID-19. Jangankan bertumbuh, dunia usaha kini masih berjuang untuk bertahan.
Baca Juga: Polda Metro Bongkar Peredaran 5.752 Ekstasi dan 9,26 Kg Tembakau Gorila
Sergub ini dinilai menambah beban bagi sektor ritel yang masih jauh dari kata pulih. Seharusnya, dibutuhkan dukungan dari pemerintah. Alih-alih, Sergub ini justru semakin menghimpit dunia usaha.
Tutum menilai kebijakan ini malah bisa menjadi bumerang buat iklim usaha dan investasi. Padahal, saat ini Presiden Joko Widodo sedang berupaya mendongkrak investasi nasional dan mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional.
Misalnya dengan menerbitkan UU Cipta Kerja tahun lalu untuk mengatasi disharmonisasi regulasi seperti ini.
Menurut Tutum, ketentuan Sergub tersebut juga bertentangan dengan regulasi yang berada diatasnya yaitu PP 109 tahun 2012.
“Kami menjual produk legal, dan semua sudah ada aturannya. Produk tembakau ini ada Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 yang menjelaskan bahwa rokok adalah produk yang legal dan tidak dilarang,” ungkapnya dalam Webinar Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI).
Baca Juga: Polisi Gerebek Dua Pabrik Rumahan Narkoba Tembakau Gorila di Bandung
Ia juga memastikan seluruh operasi ritel dalam memasarkan produk tembakau memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Misalnya tidak menjual di area ibadah, sekolah, maupun kawasan yang dilarang aturan tersebut.
Tutum juga menjelaskan penempatan produk rokok di ritel juga diletakkan di luar jangkauan konsumen sehingga hanya petugas ritel yang bisa mengaksesnya. Ini adalah salah satu kontrol untuk memastikan rokok tidak dijual kepada anak-anak.
Tanpa adanya kepastian usaha dan hukum, Tutum khawatir kebijakan seperti ini dapat berimbas besar, tak cuma kepada produk tembakau melainkan ke produk-produk lainnya untuk dibatasi promosi dan penjualannya. Ia sendiri meminta Pemda DKI mencabut Sergub 8/2021 ini.
Sementara pengamat hukum Universitas Trisakti Ali Ridho menjelaskan, sejatinya Sergub ini tak hanya bertentangan secara vertikal atau dengan ketentuan-ketentuan yang berada di atasnya, melainkan juga bertentangan dengan regulasi-regulasi yang pernah dikeluarkan Pemda DKI, alias secara horizontal.
Misalnya, Pergub DKI Jakarta nomor 50 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok.
“Sergub ini juga tidak sejalan dengan Pergub yang menjadi dasar pengawasan kawasan tanpa rokok. Kalau dibaca Pergub 50/2012, ketentuan menutup reklame dan bungkus rokok itu tidak muncul. Pada pasal 5, dan pasal 6 Pergub 50/2012 justru memberikan pintu untuk area yang dijadikan jual beli rokok untuk memasang iklan,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Ia juga turut mengkritik agresivitas Satpol PP DKI Jakarta yang langsung melakukan penindakan untuk menutup bungkus rokok di minimarket. Menurut Ali, Sergub lebih bersifat internal antar pejabat pemerintahan, merupakan imbauan, dan tidak bersifat instruksi untuk ditindaklanjuti dengan penindakan. Sehingga Satpol PP sejatinya juga tidak berwenang melakukan penindakan tersebut.
“Maka dari itu, Seruan Gubernur ini sebenarnya tidak perlu lagi diselaraskan melainkan dicabut saja, karena sudah tidak mengikuti pedoman aturan main pejabat administratif untuk mengeluarkan diskresi,” lanjut Ali.
Di kesempatan yang sama Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menilai penerbitan Sergub ini juga tidak tepat.
“IHT merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, mulai dari tenaga kerja, serapan komoditas, hingga setoran cukai,” ungkapnya.
Ia menjelaskan IHT merupakan salah satu industri strategis yang punya kontribusi besar terhadap ekonomi nasional. Tahun lalu misalnya kontribusi IHT dari pajak, cukai dan pungutan lainnya mencapai Rp 170 triliun, dari segi ekspor IHT juga bernilai lebih dari US$ 1 miliar. Selain itu, IHT juga merupakan industri yang menyerap pekerjaan cukup besar, lebih dari 6 juta orang merupakan pekerja IHT.
Benny juga curiga ada kepentingan lain dalam terbitnya beleid ini, terutama dari gerakan anti tembakau yang didanai oleh organisasi internasional, Bloomberg Philanthropies. Apalagi Pemda DKI Jakarta juga memang menerima dana kerja sama dalam rangka peningkatan kualitas udara dari Bloomberg Philanthropies.
Bloomberg Philanthropies sendiri memang dikenal luas sebagai organisasi anti tembakau global yang mendanai proyek-proyek Gerakan anti tembakau di seluruh dunia.
Termasuk di Indonesia, dimana dana Bloomberg mengalir ke organisasi seperti Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Warga Jakarta (Fakta), sampai PP Muhamaddiyah.
Tak cuma kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, Bloomberg Philantropies juga terbukti telah mengintervensi kebijakan anti tembakau di negara seperti Filipina, Amerika Selatan, sampai negara berkembang di Eropa seperti Andorra dan Ukraina.
“Bisa saja (Sergub 8/2021) itu terkait, saya menenggarai ada kerja sama dengan Bloomberg ada dukungan ke Pemda DKI Jakarta. Meskipun saya tidak bisa menduga-duga, yang saya tahu hanya saya pernah membaca satu Surat Gubernur DKI Jakarta ke Bloomberg yang mengucapkan terima kasih,” tutup Benny.