Suara.com - Hindari kebijakan diskriminatif, BPOM akan mengatur makanan dan minuman dalam kemasan sekali pakai dengan label peringatan. Wacana kebijakan BPOM ini disampaikan oleh DR Ahmad Zainal Abidin, pakar polimer Institut Teknologi Bandung, yang ikut hadir dalam rapat BPOM pada 13 September lalu.
“Saya dapat klarifikasi dari BPOM kalau semua kemasan makanan dan minuman juga akan diatur. Semua material yang kontak dengan makanan dan minuman akan dibuat catatan sehingga semuanya aman untuk masyarakat. Jadi, semua kemasan makanan dan minuman akan diatur seluruhnya, ” jelas Zainal ditulis Jumat (17/9/2021).
Zainal tidak setuju kebijakan diskriminatif yang hanya melabeli satu jenis kemasan makanan minuman saja karena pada dasarnya semua jenis kemasan terbuat dari bahan apapun memiliki potensi bahaya, dan harus diatur batas maksimalnya.
Menurut Zainal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mewacanakan pelabelan semua kemasan makanan dan minuman yang beredar di pasaran, termasuk di antaranya galon PET sekali pakai, untuk mencantumkan keterangan lolos batas uji unsur pembuat polimernya - Etilena Glikol - yang berbahaya bagi kesehatan.
Baca Juga: Badan POM Ungkap Alasan Penting Membaca Label dalam Produk yang Dipakai
BPOM beralasan wacana ini dibuat karena BPOM ini ingin semua makanan minuman yang dikonsumsi masyarakat itu aman dan menyehatkan.
Galon sekali pakai yang berbahan PET (Polietilena Tereftalat) dalam pembuatannya menggunakan etilena glikol yang kalau dikonsumsi melebihi dosis maksimal yang diperbolehkan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani.
Selain itu pembuatan PET juga menggunakan Acetyldehide (Alkanal) sebagai katalis, yang jika dalam jumlah besar bisa berpotensi memicu timbulnya kanker.
Ahmad Zainal mengutarakan bahwa semua unsur pembentuk bahan kemasan makanan dan minuman itu memiliki resiko bahaya bagi kesehatan manusia. Dia mencontohkan kemasan PET yang mengandung etilen glikol, PVC mengandung PCM, bahkan kertas ada juga yang mengandung unsur berbahayanya.
“Makanya nanti akan diamankan semua sehingga masyarakat terbebas dari hal-hal yang berbahaya,” tuturnya.
Baca Juga: Ibu Minta Anak Naikkan Galon Air Mineral, Apa yang Terjadi Malah Plot Twist
Zainal menegaskan bahwa untuk plastik sebenarnya yang berbahaya itu bukan plastiknya, melainkan bahan lain yang bukan plastik yang ada di dalam plastik itu.
“Itu kan sebenarnya bahan baku, cuma tidak 100 persen bahan bakunya terproses. Jadi ada yang tersisa. Nah, yang tersisa itu dibatasi jumlahnya supaya masih aman,” katanya.
Kemenperin Pertanyakan Wacana BPOM
Sebelumnya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, juga mempertanyakan adanya wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK) kemasan plastik yang mengandung BPA itu.
“Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” ujarnya.
Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya mempertanyakan wacana kebijakan BPOM itu.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nanti nya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
“Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengandampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?” ucapnya lagi terkait wacana BPOM itu.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat.
“Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.