Suara.com - Startup penyedia solusi digital berbasis Software-as-a-Service (SaaS) manajemen kendaraan logistik, McEasy dapat dana segar Rp22 miliar (1,5 juta dolar AS) dari investor East Ventures.
Co-founder McEasy, Raymond Sutjiono mengatakan, uang tersebut akan digunakan untuk memperkuat divisi penelitian dan pengembangan McEasy dan mengembagkan pemasaran perusahaan.
"Sejak tahun 2019, kami berfokus untuk menjadi katalis digitalisasi pada industri logistik dan rantai pasok di dalam negeri. Sistem pelacakan pintar memang bukan hal baru di dunia otomotif dan industri, namun kami tahu bagaimana cara mengintegrasikan hardware yang ada--mulai dari sensor hingga GPS--dengan platform kami untuk menjadi solusi tepat dari masalah di pasaran," kata Co-founder McEasy, Raymond Sutjiono.
Ia menyebut, dengan rencana bisnis McEasy meyakini kepercayaan investor tersebut membantu pertumbuhan perusahaan secara eksponensial.
Baca Juga: Penjelasan Profit Taking dan Waktu yang Tepat Untuk Take Profit Saham
Terkait masalah manajemen transportasi logistik di Indonesia, menurut dia, salah satunya dari terbatasnya integrasi dari satu pihak ke pihak lain, padahal masih berada di rantai pasok yang sama.
Ditambah lagi, proses operasional usaha cenderung mengandalkan teknik manual dengan administrasi yang rumit, sehingga proses digitalisasi belum berjalan dengan mulus sehingga membutuhkan cara yang menyederhanakan operasional logistik.
Terkait hal itu, McEasy menawarkan dua layanan bagi kebutuhan industri, yakni Vehicle Smart Management System (VSMS), Transportation Management System (TMS), and Smart Driver Apps. VSMS merupakan solusi digital berbasis smart tracker untuk membantu operasional logistik dan pelacakan lokasi kendaraan secara real-time.
Sementara TMS merupakan SaaS untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan optimisasi proses pengiriman barang secara terpadu, sehingga keseluruhan proses menjadi lebih efisien.
Melalui integrasi dalam Smart Driver Apps, pelanggan McEasy dapat melacak posisi kendaraan dan seluruh biaya operasional secara transparan, tanpa perlu repot untuk memeriksanya secara manual.
Baca Juga: Investasi di Surabaya Tembus Rp17,4 Triliun, Target Tahunan Turun Dibanding 2020
Kedua solusi ini dapat digunakan oleh para pelaku bisnis logistik, mulai dari perusahaan manufaktur & distribusi hingga perusahaan brand besar yang telah memiliki armada sendiri ataupun terintegrasi dengan vendor-vendor penyedia jasa logistik.
McEasy menggunakan model bisnis berbasis langganan (subscription) dan memberikan solusi yang dapat disesuaikan dengan skala bisnis pelanggan, seperti 3PL, 4PL, distributor, atau perusahaan brand. Hingga saat ini, wilayah yang terjangkau oleh solusi digital McEasy meliputi Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, serta Sulawesi.
Pandemi telah ikut mendorong pertumbuhan bisnis McEasy, dengan jumlah pelanggannya tumbuh 10 kali lipat dalam 1,5 tahun terakhir.
Portfolio pelanggannya mencakup berbagai industri dan ukuran usaha, misalnya MGM Bosco untuk sektor rantai pasok dingin (cold-chain), Rosalia Indah Group untuk sektor transportasi publik, serta RPX dan FeDex Indonesia untuk sektor logistik last-mile di Indonesia.
Kekuatan utama McEasy terletak pada platform yang fleksibel menjadi solusi setiap kebutuhan pelanggan. Berbeda dari penyedia software lain, McEasy akan mendalami problem utama klien, lalu memaparkan cara menggunakan elemen-elemen pada platform untuk mengatasi masalah tersebut.
Pendiri McEasy Raymond Sutjiono dan Hendrik Ekowaluyo, merupakan teman dekat sejak kuliah teknik mesin di Purdue University, AS.
Sebagai veteran yang pernah bekerja bersama-sama di Ford, keduanya punya kemahiran dalam teknik otomotif, di mana Hendrik jago merancang struktural dan manajemen program dalam mobil, sementara Raymond lebih berfokus pada tata elektronik mesin, kontrol sistem, hingga handling data kendaraan.
Menurut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), tercatat dalam laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2021, potensi pertumbuhan bisnis industri logistik Indonesia dari tahun ke tahun berkisar sekitar Rp40 triliun (2,8 miliar dolar AS).
Berdasarkan analisis Redseer pada laporan yang sama, industri ini telah mengalami pertumbuhan sebesar 100 persen selama pandemi.