Suara.com - Harga minyak dunia melesat ke level tertingginya. Kenaikan ini dipicu produksi Amerika Serikat (AS) yang lambat usai diterjang Badai Ida.
Kenaikan harga itu terjadi meski Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) memangkas perkiraan permintaan minyak dunia untuk kuartal terakhir 2021 karena varian Delta virus corona.
Mengutip CNBC, Selasa (14/9/2021) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup naik 59 sen, atau 0,8 persen menjadi 73,51 dolar AS per barel.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), melonjak 73 sen, atau 1,1 persen, menjadi menetap di posisi 70,45 dolar AS per barel.
Itu adalah penutupan tertinggi Brent sejak 30 Juli dan penutupan tertinggi WTI sejak 3 Agustus.
"Dampak Badai Ida berlangsung lebih lama dari ekspektasi pasar, dan karena beberapa kapasitas produksi minyak tetap ditutup pekan ini, harga naik mengingat pasokan belum pulih, karena itu tidak mencapai kilang yang telah memulai kembali operasi lebih cepat daripada produsen," kata Nishant Bhushan, analis di Rystad Energy.
Gangguan lebih lanjut dari cuaca buruk mungkin sudah dekat, dengan National Hurricane Center Amerika memproyeksikan Badai Tropis Nicholas akan mengikis sepanjang pantai Texas Selatan, Senin, dan mendarat di dekat Corpus Christi, Senin malam waktu setempat.
Royal Dutch Shell mulai mengevakuasi staf dari anjungan minyak Teluk Meksiko AS, dan perusahaan lain mulai bersiap menghadapi angin topan.
Meski OPEC mengatakan pemulihan permintaan minyak lebih lanjut akan tertunda hingga tahun depan ketika konsumsi melebihi tingkat pra-pandemi, analis mencatat OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, kelompok yang dikenal sebagai OPEC Plus, masih meningkatkan produksi.
Baca Juga: Stok AS Menipis, Harga Minyak Dunia Naik Tinggi
Selain perkiraan permintaan OPEC , faktor bearish lainnya membebani lonjakan harga minyak pada Senin, termasuk kenaikan produksi shale-oil Amerika, potensi peningkatan pasokan dari rencana pelepasan minyak dari cadangan strategis di Amerika Serikat dan China, dan kemungkinan Iran bisa lebih dekat menjual pasokannya kembali.