Akademisi Minta Pemerintah Tidak Lanjutkan Revisi PP 109

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 10 September 2021 | 12:58 WIB
Akademisi Minta Pemerintah Tidak Lanjutkan Revisi PP 109
Petani tembakau di Selo Boyolali menjaga kualitas tanaman dengan menjemur hasil panen di Klaten, Jawa Tengah. [Suara.com/Ari Purnomo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Akademisi dari Universitas Trisakti mendorong pemerintah untuk tidak melanjutkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012), karena dinilai tidak efektif dilakukan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho mengatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam melihat sebuah undang-undang dan dikatakan efektif.

Pertama, legal substance (substansi hukum) yang berkaitan dengan isi atau substansi. Kedua, legal structure (struktur hukum) yang berkaitan dengan pelaku penegak yang menjalankan undang-undang tersebut. Terakhir, legal culture (budaya hukum) atau pemahaman masyarakat terhadap peraturan.

“PP 109/2012 sudah baik dari sisi substansinya, namun implementasinya masih perlu ditingkatkan. Kalau hanya satu saja yang kurang tidak bisa langsung direvisi. Sesungguhnya pada struktur hukum masih ada permasalahan. Maka yang perlu dibenahi bukan substansinya, tapi struktur dan budayanya,” ujar Ali Ridho pada Webinar PMII dengan tema kajian Kebijakan Ekonomi Sosial Rencana Revisi PP 109/2021 ditulis Jumat (10/9/2021).

Baca Juga: Revisi Aturan Tembakau Dinilai Tidak Tepat, Pakar: Apa Urgensinya?

Ia menjelaskan bahwa pemerintah juga perlu membangun budaya hukum masyarakat terutama para petani agar dapat memahami PP 109/2012 ini.

“Kalau petani tidak tahu soal PP 109/2012, berarti tidak memenuhi budaya hukumnya,” ujar Ali Ridho.

Ali Ridho menegaskan bahwa revisi PP 109/2012 tidak berkesinambungan dengan peraturan lainnya. Contohnya salah satu poin yang akan direvisi pada PP 109/2012 ini adalah terkait gambar peringatan akan diperbesar menjadi 90%. Menurut Ali Ridho hal ini akan melanggar Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

“Kalau merek itu hilang, semua menghilangkan identitas dia sepenuhnya, ini produk apa. Tidak boleh ditutupi, kalau ditutupi hilang esensinya. Maka konsep gambar peringatan diperbesar 90% ini berlebihan karena tidak memperhitungkan UU tersebut,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa rencana revisi PP 109/2012 ini tidak memenuhi aspek partisipatif dan akomodatif. Padahal dalam sebuah undang-undang ditinjau dari dua aspek yaitu formil dan materiil. Dari sisi aspek formil harus memenuhi syarat partisipatif yang diikuti dengan akomodatif dan melibatkan semua stakeholder.

Baca Juga: CHT Naik, Petani Sulit Bertahan dan Ribuan Pekerja SKT Terancam Pengangguran

“Ini sering dilupakan dan tidak dibarengi dengan akomodatif, semuanya ditampung tapi tidak diakomodasi. Ini jadi penyakit perundangan di Indonesia, sehingga bukan hanya menggugurkan formalitas tetapi sense of crisis yang dialami dalam pembentukan peraturan perundangan. Ini harus dipecahkan sehingga implementasinya jadi baik,” jelas Ali Ridho.

Dari aspek materiil pun, Ali Ridho menjelaskan pengayoman keadilan harus menjadi bagian yang tidak boleh dihilangkan dalam proses pembuatan kebijakan. Serta asas kejelasan tujuan harus sinkron antara horizontal dan vertikal dan konsistensi perumusan harus melekat dalam aspek materiil.

“Dua aspek ini yang saya pakai untuk menganalisis rancangan revisi PP 109/2012,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI