Suara.com - Futures market atau pasar berjangka adalah tempat pertukaran komoditas (‘aradl) berupa aset derivatif yang berarti mekanisme yang berlaku berbeda jauh dengan apa yang terjadi di pasar modal (al-aswâq ra’sul mâliyyah).
Lantas bagaimana hukum jual beli aset kripto menurut ulama, begini pendapat Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Muhammad Syamsudin.
Saat bertransaksi di pasar berjangka (futures market/al-aswâq al-istiqbâliyyah), akad yang berlaku menggunakan akad bai’ ‘urbun, yakni jual beli yang disertai uang muka. Aset kripto bukan satu-satunya yang ditransaksikan di pasar ini, melainkan kontrak yang sebelumnya pernah dilakukan oleh seseorang untuk memesan suatu aset kripto pada jangka waktu tertentu.
Saat jatuh tempo, namun aset tidak menuju harga yang dharapkan, maka pihak penjual memilih opsi (khiyârât) untuk mengalihkan tanggungannya kepada pihak lain, dengan niat “uang muka” (‘urbun) yang sudah diserahkannya tidak hangus.
Baca Juga: Harga Bitcoin Menguat Signifikan, Efek Borongan Investor Amerika Serikat
Dijelaskan oleh ulama Hisamuddin Afanah,"Bai ‘urbun adalah jika ada seseorang menjual sesuatu, kemudian ia meminta dari pembeli sejumlah uang sebagai uang muka dengan tujuan dijadikan jaminan ikatan akad yang sudah dijalin oleh keduanya, dengan landasan bahwa jika pembeli memutuskan melanjutkan akad, maka uang muka tersebut dihitung sebagai harga, namun jika musytari membatalkan akad, maka uang muka tersebut milik penjual.” (Fiqhul Tâjiril Muslim, [Baitul Muqaddas, Maktabah ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1426 H], halaman 89).
Untuk diketahui, ulama yang melarang akad ini adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah. Dalam perspektif as-Syaukani (wafat 1250 H) ‘illat larangan bai’ urbun sebagai berikut,
"'Illat dilarangnya bai’ urbun adalah karena dalam transaksi urbun tersimpan adanya dua syarat yang fasid. Pertama, adalah syarat adanya harta yang harus diserahkan kepada penjual secara cuma-cuma khususnya jika terjadi pembatalan transaksi. Kedua, karena ada syarat pengembalian barang kepada penjual jika terjadi ketiadaan ridla pembeli.” (As-Syaukani, Nailul Authâr Syarhu Muntaqal Akhbâr, juz V, halaman 182).
Sementara, ahli Fiqih yang memperbolehkan transaksi ‘urbun adalah dari kalangan Hanabilah. ‘Illat kebolehan menurut kalangan ini adalah sebagai berikut:
“Sebagaimana maklum diketahui bahwa transaksi 'urbun dipergunakan di banyak transaksi niaga era modern saat ini adalah semata sebagai jaminan keterikatan antara penjual dan pembeli secara umum. Banyak peraturan/undang-undang baru yang disusun atas dasar akad tersebut dan memberlakukannya secara umum, dan bahkan menjadi landasan penetapan ganti rugi yang ditimbulkan oleh pihak lain karena alasan penundaan dan menunggu” (Afanah, Fiqhut Tâjir, juz I, halaman 89).
Baca Juga: Bursa Kripto Zipmex Dapat Suntikan Dana Rp584,9 Milyar, Makin Menarik di Mata Investor?
Muhammad Syamsudin melalui NU Online memberi contoh, apabila seseorang membeli sebuah properti, dalam hal ini adalah kripto maka akan dilunasi pada waktu tertentu.
Sebagai tanda jadi, ia memberikan uang muka yang apabila tiba waktu jatuh tempo, orang tersebut memiliki dua opsi, yaitu apakah mau melanjutkan pembelian properti tersebut, ataukah merelakannya.
Sebagaimana ciri utama dari uang muka pada bai’ urbun, maka jika terjadi pembatalan akad, uang muka menjadi hangus dan menjadi milik penjual.
Namun, apabila melanjutkan akad, maka pihak pembeli harus menyerahkan uang untuk melunasi harga kripto it dan uang muka menjadi bagian dari harga aset.
Dengan keterangan ini, maka keputusan yang dilakukan oleh orang tersebut, sudah pasti juga ada 2 opsi (khiyârât), yaitu jika ia tetap bersikukuh untuk membeli aset, maka dia harus menyerahkan sejumlah uang untuk melunasi sehingga uang mukanya menjadi bagian miliknya.
Sementara bila ia bersikukuh menjual aset, maka uang mukanya ini akan digantikan oleh pihak lain yang akan membelinya. Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak trader kecil selalu memilih untuk menjual pada saat jatuh tempo, maka itu artinya dia hanya memiliki 1 opsi saja terhadap uang muka yang diserahkan, yaitu pembatalan akad pembelian aset kripto.
Merujuk pada ketentuan yang berlaku di bai’ urbun, setiap kali ada pihak yang membatalkan akad ‘urbun, maka properti adalah masih menjadi milik sah penjual.
Tidak ada satu hishah pun yang beralih menjadi “hak” (right) trader. Bercermin pada mekanisme ini, maka uang muka yang dialihkan oleh trader kepada pihak lain pada dasarnya tidak bisa dikaitkan dengan aset kripto.
Sehingga, uang itu juga tidak bisa distandarkan harganya dengan harga baru properti (aset kripto) saat jatuh tempo. Karena itu, saat terjadi proses pengalihan hak dari satu trader ke trader lainnya, maka yang berlaku seharusnya adalah wajibnya “trader baru” menggantikan “uang muka” dari “trader lama”, dengan ketentuan sama besar, tidak bertambah dan tidak berkurang (tamatsul).
Ketentuan yang berlaku secara syara’ adalah mengikuti ketentuan yang berlaku atas akad hiwalah. Sebab, obyek yang dijual adalah “uang muka”, sehingga bukan komoditas aset kriptonya.
Menurutnya, Trading Aset Crypto di Futures Market faktanya memiliki valuasi yang ditentukan berdasarkan harga di saat jatuh tempo.
Kemudian, uang muka yang dijual oleh trader, memiliki valuasi yang berbeda dengan saat trader tersebut memutuskan membeli aset derivatif crypto. Padahal kontrak yang berlaku di opsi “penjualan” oleh trader pada saat kadaluwarsa, menandakan batalnya akad pembelian aset crypto.
Akibatnya, yang tersisa adalah akad hiwalah semata, dan uang muka bukan dihitung sebagai bagian dari aset.
Dengan demikian, ketentuan yang seharusnya berlaku atas nilai uang muka itu, adalah wajibnya ia distandarkan dengan saat awal dilakukan kontrak futures.
Apabila dalam kasus properti, pihak pembeli yang membatalkan pembelian properti, dan memilih mengalihkan pada orang lain agar uang mukanya tidak hangus, maka besar nilai pengalihan itu harus sama saat dia menyerahkan uang muka pembelian properti.
Sehingga, nilainya tidak bisa distandarkan dengan harga properti saat jatuh tempo kontrak futures.
Ketiga, fakta yang terjadi, dalam trading crypto di futures market, ketika akad futures itu dibatalkan, maka nilai valuasi uang muka mengikuti valuasi aset crypto saat kontrak itu kadaluwarsa.
Konsekuensinya, besarannya menjadi tidak sama dengan saat uang muka itu diserahkan di awal kontrak. Dengan demikian, terpenuhi kaidah jual beli utang dengan utang (bai’u mâ fîdz dzimmah bimâ fîdz dzimmah) dengan besar nilai uang muka yang dialihkan sebagai yang tidak sepadan dengan gantinya.
Lantaran nilai yang tidak sama ini, maka praktik yang terjadi dalam akad trading aset crypto di pasar berjangka, pada dasarnya merupakan praktik ribâl fadli.
Keempat, selain itu, 'illat keharaman hukum pada trading aset crypto di pasar berjangka adalah karena terdapatnya unsur maisir. 'Illat ini muncul seiring opsi yang dimiliki oleh trader kecil adalah hanya satu, yaitu hanya menjual pada saat jatuh tempo. Sehingga, otomatis membatalkan akad sehingga murni tersisa harga baru dari “uang muka” dan bukan “komoditas crypto-nya”. Wallâhu a’lam bish shawâb.