Apabila pemerintah bersikeras menetapkan kenaikan cukai pada 2022, para pekerja SKT tidak sanggup membayangkan dampak bertubi-tubi yang akan mereka terima.
Waljid, Ketua FSP RTMM Yogyakarta menyatakan, sekitar 5.000 anggotanya yang bekerja di pabrik rokok membutuhkan bantuan dan perlindungan dari pemerintah, bukan tambahan beban.
Perlindungan sangat diperlukan bagi produk SKT karena secara produktivitas, produk SKT sangat tidak kompetitif bila dibandingkan dengan rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Seorang pekerja SKT hanya dapat membuat 6-7 batang rokok saja dalam satu menit, tidak sebanding dengan mesin rokok yang dapat menghasilkan hingga 16.000 batang per menit.
“Kami dukung realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang fokus pada industri padat karya seperti SKT. Oleh karena itu, seharusnya para pekerja di SKT diberikan perlindungan dan bantuan.” tegas Waljid.
Kebijakan CHT Perlu Pertimbangan Matang
Pengamat ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi menilai langkah pemerintah untuk menaikkan CHT di tengah pandemi sangat kontraproduktif dengan semangat membangkitkan perekonomian yang sedang lesu.
IHT memang adalah sektor industri yang jelas memberikan kontribusi pendapatan yang menopang keuangan negara. Namun langkah menaikkan tarif cukai ibarat pisau bermata dua.
“Kebijakan CHT harus ditimbang matang-matang karena implikasinya sangat besar. Sebanyak 6 juta orang hidup dari tembakau. Pemerintah tidak melihat bagaimana dampak kebijakan ini pelan-pelan membunuh sektor hulu dan hilir IHT,” kata Prima Gandhi.
Baca Juga: Ini Alasan Pemerintah Kerek Tarif Cukai Tembakau di 2022
Efisiensi yang dilakukan oleh industri saat merespon kebijakan kenaikan tarif cukai rokok akan berkaitan langsung kepada penyerapan hasil tembakau dan cengkeh dari petani, pengurangan tenaga kerja termasuk pekerja linting, maupun penurunan omzet bagi pedagang dan umkm yang terlibat dalam distribusi rokok.