Suara.com - Produk tembakau alternatif atau hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dapat menjadi upaya komplementer dalam menekan prevalensi perokok dan bahaya akibat rokok di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan lebih banyak penelitian terkait produk hasil inovasi tersebut.
Mantan Direktur Kerja Sama & Koordinasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu, menyebutkan ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penanggulangan epidemi merokok di Indonesia, seperti faktor sosiologi, perilaku, dan psikologi masyarakat.
Saat ini, akses terhadap rokok sangat mudah dijangkau oleh masyarakat, namun akses terhadap produk tembakau alternatif malah masih sulit untuk dijangkau.
“Di Indonesia, merokok sudah dianggap sebagai bagian dari gaya hidup,” kata Tikki dalam diskusi online bertajuk Adiksi Nikotin: Pandangan Regulasi dan Tata Laksana Praktis ditulis Selasa (31/8/2021).
Baca Juga: Pedagang Tembakau untuk Tingwe Bisa Kena Tarif Cukai
Tikki melanjutkan, diperlukan strategi khusus untuk menangani epidemi merokok yang sudah membudaya di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan dan mendukung penggunaan produk HPTL, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan snus.
Pemanfaatan produk HPTL sudah dilakukan oleh sejumlah negara maju, di antaranya adalah Jepang, Inggris, Selandia Baru, hingga negara-negara anggota Uni Eropa. Hasilnya ialah penurunan jumlah perokok di negara-negara tersebut.
“Ada beberapa negara yang 100% menyokong inovasi baru ini, seperti di Inggris, Selandia Baru, dan Jepang. Di Inggris misalnya, rokok elektrik digunakan sebagai salah satu upaya untuk mendorong perokok berhenti dari kebiasaannya. Upaya tersebut juga dipromosikan secara aktif oleh pemerintahnya,” terang Tikki.
Menurut Tikki, Public Health England, lembaga eksekutif departemen kesehatan Inggris, mencatat bahwa terdapat banyak perokok yang bisa berhenti merokok setelah beralih ke produk HPTL.
Artinya, penggunaan maupun penelitian mengenai produk tembakau alternatif sangat didukung oleh pemerintah Inggris. Hal serupa juga terlihat di sejumlah negara maju lainnya. Selain itu, berdasarkan hasil kajian ilmiah, produk HPTL telah terbukti memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok.
Baca Juga: Tegaskan Penolakan Kenaikan Cukai, Petani Tembakau Kirim Surat ke Jokowi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Imran Agus Nurali, mengatakan konseling kesehatan dapat dikedepankan untuk mendorong perokok dewasa berhenti merokok secara langsung.
“Kita juga melayani kampanye dan klinik berhenti merokok. Mudah-mudahan ini bisa membantu untuk masyarakat yang ingin berhenti,” ujarnya.
Senada dengan Imran, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Tribowo Tuahta Ginting, menjelaskan untuk berhenti merokok dapat dilakukan secara langsung maupun dengan mengurangi konsumsinya secara bertahap.
“70% perokok mengatakan ingin berhenti merokok, tetapi hanya 7,9% yang dapat melakukannya tanpa bantuan,” katanya.
Oleh karena itu perlu adanya bantuan bagi perokok dewasa melalui konseling. Tribowo melanjutkan bahwa konseling bisa dilakukan di mana saja, misalnya sekolah.
“Sebenarnya kita sudah mengembangkan modul untuk melakukan konseling kepada guru dan nakes. Tapi memang modulnya akan berbeda untuk satu dan yang lain,” katanya.
Adapun alternatif lainnya bisa dengan menggunakan alternatif pengganti nikotin, seperti dalam bentuk permen karet maupun koyo nikotin. Lalu untuk pendampingnya menggunakan obat varenicline namun obat ini sudah tidak tersedia di Indonesia karena harganya cukup tinggi. Tingkat efektivitasnya sebesar 80%.
Terkait produk HPTL, menurut Tribowo, perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk menilai efektivitas dan keamanannya.
“Kita sejauh ini masih melihat banyak aspek, tidak hanya melihat kadar nikotinnya atau bagaimana cara pemberiannya, tapi juga melihat aspek lain yang ada dalam produk tersebut,” ungkapnya.