Suara.com - Sejak menjadi orang nomor satu di Indonesia dari tahun 2014 hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi di bawah kendali Presiden Joko Widodo selalu stagnan pada angka 5 persen.
Kondisi ini menjadi sorotan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Dia mengatakan, rata-rata pertumbuhan ekonomi setelah krisis finansial Asia lebih rendah dibandingkan rata-rata sebelum krisis.
"Kita bisa lihat ini setiap 5 tahun sejak krisis 1998, kemudian RPJMN 2005-2009, RPJMN 2010-2014, dan RPJMN 2015-2019, relatif kita bermain di angka 5 persen," kata Suharso dalam rapat kerja dengan Komisi XI pada Senin (30/8/2021).
Baca Juga: Bos Parpol Koalisi Puji Pemerintah Jokowi, PKS: Kontras dengan Kritik Mural Rakyat
Pertumbuhan yang hanya mentok pada angka 5 persen ini, berada di bawah angka potensial ekonomi Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan krisis akibat pandemi covid-19.
"Setelah ada covid-19, pertumbuhan ekonomi potensial diperkirakan di bawah 5 persen, jika tidak ada upaya ekstra atau hanya business as usual," katanya.
Dengan kondisi pertumbuhan yang hanya sebesar itu, Suharso pun sedikit mengkhawatirkan soal kesenjangan pendapatan per kapita di Tanah Air.
Menurutnya, jika dibiarkan terus menerus kesenjangan tersebut akan semakin lebar. Dengan kata lain, orang kaya akan semakin kaya dan orang miskin malah makin miskin.
Tak hanya itu, posisi Indonesia yang sudah lama terjebak dalam negara berpendapatan rendah atau middle income trap akan semakin sulit teratasi.
Baca Juga: Pilpres 2024 Makin Panas, Refly Harun Sebut Hanya akan Dikuasai Koalisi Jokowi
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi harus diupayakan rata-rata 6 persen melalui redesain transformasi ekonomi, sehingga dapat memperkecil gap pendapatan per kapita, dan mendekati trajectory visi Indonesia 2045 sebelum pandemi Covid-19.
"Jika tetap dengan business as usual, maka tekanan Indonesia untuk kembali ke upper-middle income tergeser cukup jauh ke belakang."