Suara.com - Hukum di Indonesia seakan tidak pernah berhenti mempertontonkan 'dagelan' hingga membuat warga muak. Setelah sebelumnya Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diketahui melanggar kode etik karena memberi tahu Syahrial bahwa ia sedang ada kasus di KPK.
Padahal, Wali Kota Tanjungbalai, Syahrial merupakan tersangka kasus jual beli jabatan di Tanjungbalai. Temuan ini lantas membuat warganet Indonesia merasa hukum di Indonesia sedang 'bercanda' karena Lili hanya diberi hukuman potong gaji.
"Salah mung dipotong gaji… KPK ooooo KPK, cap lembaga pemberantasan korupsi cap apaaaaa?," tulis akun Puthut EA.
"KPK emang udah gak ada guna. Harapan satu-satunya negara melawan kebobrokan negeri hancur dari dalam," tulis warganet lainnya.
Baca Juga: Begini Tampang Bupati Probolinggo dan Suami saat Diamankan di Mapolda Jatim
Sementara kasus ini masih jadi polemik, paling baru Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta juga membebaskan pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan dari semua dakwaan.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono, Senin (30/8/2021).
Padahal Samin didakwa menyogok Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 sebesar Rp5 miliar agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Dalam kasus ini, Samin dituntut JPU KPK dengan hukuman 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabatnya," tambah Hakim Panji Surono.
Baca Juga: Demi Kehormatan KPK, MAKI: Lili Pintauli Siregar Mundur dari KPK
Alasan Hakim Bebaskan Pelaku Korupsi
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri atas Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," ungkap Hakim Teguh Santosa.
Majelis Hakim menyebut, Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik suap tapi merupakan delik gratifikasi sehingga tidak ada pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," tambah Hakim Teguh.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang dia terima.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ungkap Hakim Teguh.
Sementara, menurut hakim, delik gratifikasi akan tercukupi saat Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.
Sementara dalam putusan utusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019 untuk Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura karena terbukti menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Eni Maulani Saragih dinilai tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) yang merupakan anak perusahaan PT BLEM, yang punya kewenangan adalah Menteri ESDM sehingga terdakwa memberikan uang kepada Eni maulani sebagai korban pemerasan.
Usai putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum KPK langsung menyatakan kasasi.
"Kami menyatakan kasasi," kata JPU KPK Ronald F Worotikan, dikutip dari Antara.
Sedangkan penasihat hukum Samin Tan, Yadi Noviadi Yusuf menyatakan bersyukur atas putusan itu.
"Alhamdulillah terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kita terkejut ya tapi karena hakim berani menerima argumentasi kita, kita pakai akademisi, tidak praktisi kita lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," kata Yadi.