Suara.com - Pandemi COVID-19 menciptakan dampak yang luar biasa terhadap kesehatan manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Permasalahan yang masih berlangsung hingga saat ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperkenalkan konsep pengurangan bahaya atau harm reduction guna memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Topik ini menjadi pembahasan dalam seminar sebagai bagian dari rangkaian Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia (PIT IAI) 2021, dengan mengusung tema “Advokasi Pengurangan Bahaya untuk Penanganan Perilaku Berisiko Melalui Layanan Telemedis”, yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, hari ini. Seminar ini merupakan kolaborasi antara IAI dan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR).
Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Ardini Raksanagara menjelaskan pandemi COVID-19 telah mendorong permasalahan baru terhadap kualitas kesehatan manusia di Indonesia.
Sebabnya, selama pandemi, masyarakat kerap melakukan perilaku berisiko, seperti konsumsi rokok, alkohol dan obat-obatan, kebiasaan makan yang buruk dan tidak teratur, hingga jarang berolahraga. Untuk memperbaiki kualitas kesehatan, maka konsep pengurangan bahaya perlu disosialisasikan secara masif di Indonesia.
Baca Juga: Konflik Afghanistan, WHO Ingatkan Layanan Kesehatan Harus Tetap Berjalan
“Konsep pengurangan bahaya (harm reduction) perlu disosialisasikan untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat akibat perilaku berisiko yang dilakukan selama pandemi ini. Konsep ini sudah lazim diaplikasikan di negara-negara maju, dengan menggunakan produk yang dapat menekan risiko kesehatan ke tingkat serendah mungkin. Hal ini dilakukan negara-negara maju untuk memperbaiki kualitas kesehatan masyarakatnya dan menunjukkan dampak yang positif sehingga dapat juga diterapkan di Indonesia,” kata Ardini dalam keterangan resminya ditulis Jumat (27/8/2021).
Untuk itu diperlukan adanya partisipasi dari tenaga kesehatan dalam mensosialisasikan konsep pengurangan bahaya. Ardini berpendapat apoteker dan tenaga teknis kefarmasian memiliki peran yang sangat besar dalam mensosialisasikan konsep ini.
“Mereka dapat terlibat dalam advokasi pengurangan bahaya untuk perilaku berisiko melalui layanan kefarmasian, penyusunan buku panduan, hingga terlibat dalam training for trainers untuk edukasi. Partisipasi aktif dari mereka juga akan meluruskan informasi-informasi yang keliru mengenai konsep pengurangan bahaya,” ucap Ardini.
Head of Medical Community Alodokter, Alni Magdalena, menambahkan sosialisasi konsep pengurangan risiko juga dapat dikolaborasikan dengan perkembangan teknologi seperti layanan telemedis.
Layanan ini menghadirkan fasilitas kesehatan dengan melayani pasien secara jarak jauh dan waktu nyata (real time), khususnya untuk konsultasi mengenai perilaku berisiko, misalnya merokok. Sebagai contoh, Amerika Serikat sejak 2015 lalu telah menerapkan program berhenti merokok melalui layanan telemedis.
Baca Juga: Survei: Banyak Masyarakat Takut Laporkan Buruknya Layanan Kesehatan di Masa Pandemi
“Layanan telemedis memiliki peluang untuk memperluas akses bagi perokok dalam mendapatkan dukungan program berhenti merokok yang berdasarkan bukti ilmiah. Layanan ini juga dapat membantu dalam mengurangi biaya kesehatan, khususnya bagi para perokok yang memerlukan tindak lanjut secara rutin,” kata Alni.
Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Badan Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu berpendapat penerapan pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) juga dapat disampaikan melalui layanan telemedis.
Konsep ini mengedepankan perokok dewasa untuk beralih ke produk tembakau alternatif, yang telah terbukti secara kajian ilmiah memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, maupun snus.
Dengan demikian, kategori produk alternatif tersebut dapat menjadi solusi alternatif bagi pemerintah untuk menekan prevalensi perokok yang sudah mencapai 66 juta jiwa.
“Produk ini harus dilihat sebagai inovasi untuk mengatasi epidemi merokok dan sebagai pelengkap intervensi yang ada seperti konseling, pengganti nikotin lainnya, maupun pendidikan. Apoteker dan dokter dapat memainkan peran penting untuk mengatasi misinformasi serta meningkatkan pemahaman tentang produk tembakau alternatif yang telah menerapkan konsep pengurangan bahaya,” kata Tikki.
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Ariyo Bimmo, berharap makin banyak pihak yang mendukung penerapan konsep pengurangan bahaya di Indonesia dengan memanfaatkan layanan telemedis, termasuk dari pemerintah.
“Kami berharap penerapan konsep ini yang didukung dengan layanan telemedis akan memudahkan masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan sehingga mendorong perbaikan kesehatan publik, khususnya di masa pandemi ini. Target ini tentunya dapat segera tercapai apabila pemerintah, seluruh pemangku kepentingan, dan publik mendukung serta mensosialisasikan konsep tersebut,” tutup Bimmo.