Menurut Mulyanto, pengembangan PLTS Atap di wilayah yang surplus dinilai tidak ada urgensinya dan tidak tepat.
“Jangan yang mubazir lah, kan tak bagus. Kalau ini dijadikan alat marketing, bisa-bisa ditengarai mereka yang mendorong permen ini. Apalagi dimasa pandemi, ini jadi ketidakadilan. Rumah mewah sekian miliar dengan PLTS Rooftop,” katanya.
Dia meminta pemerintah melihat secara objektif kewajaran produksi listrik di setiap tempat. Besaran itu ditentukan oleh kewajaran kebutuhan dimana listrik itu diproduksi.
“Tentu besaran produksi listrik di perumahan berbeda dengan industri," tegas Mulyanto.
Hal ini, kata Mulyanto, perlu diatur agar tidak ada pengusaha yang membonceng Permen ini untuk kepentingan bisnisnya. Tidak sedikit ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya.
Para pengembang mengimingi-imingi calon pelangganya akan dapat subsidi listrik dari Pemerintah karena menggunakan PLTS Atap.
“Secara ekonomi kondisi ini tentu tidak adil. Masak Pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik," katanya.
Herman Haeron, Anggota Komisi VI (BUMN) DPR dari Fraksi Partai Demokrat, mengatakan ke depan energi baru dan terbarukan (EBT) harus menjadi sumber energi bagi masyarakat. Dia mengakui investasi di EBT mahal.
“Karena itu, dalam mencapai target bauran energi, pemerintah ahrus ambil bagian apakah melalui APBN atau BUMN,” katanya.
Baca Juga: UMKM Diminta Terlibat dalam Proyek Konversi Sepeda Motor Bensin ke Listrik
Terkait draf revisi Permen ESDM soal PLTS Atap, Herman menilai, sepanjang belum ada UU-nya bisa menjadi aturan pelaksanaan penggunaan energi berbasis PLTS Atap. Jika regulasi itu berdampak negatif bagi BUMN, kembali lagi kepada pemerintah.