Suara.com - Pengembangan rooftop photovoltaic power station atau PLTS Atap di Indonesia dinilai hanya bersifat international image builder atau lip service.
Pencitraan internasional digunakan untuk menjaring investor bahwa Indonesia sedang menjalankan greenhouse gas policy sesuai dengan Nationally Determined Contributions (NDC) dari Paris Agreement tanpa diiringi dengan situasi pasar yang memang mengarah pada perbaikan ekosistem pasar ke energi baru terbarukan (EBT).
Yayan Satiyakti, dosen ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, menilai kebijakan solar cell untuk rooftop yang masif sangat bagus dikembangkan di Indonesia demi menurunkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil.
Akan tetapi, jika berkaca pada pasar yang relatif berhasil mengembangkan teknologi ini, yaitu Uni Eropa, hal yang dilakukan oleh Indonesia agar inovasi yang baik ini menjadi sukses, harus memenuhi beberapa catatan.
Baca Juga: Menteri ESDM Disebut Gagal Lindungi 4 Pihak dalam Revisi Regulasi PLTS Atap
Pertama, terkait permintaan dari rooftop PV, apakah kesediaan orang Indonesia menggunakan teknologi ini sudah tinggi atau belum. Pasalnya, menurut Yayan, teknologi yang digunakan oleh rumah tangga atau konsumen yang memang memiliki literasi yang baik untuk menggunakan teknologi ini seperti literasi lingkungan akan green economy atau green investment. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang tidak willingness to use.
“Maka jawabannya yaitu economic incentives. Apakah benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan cost of investment and maintenance dari penggunaan teknologi ini,” ujar Yayan ditulis Rabu (18/8/2021).
Doktor dari Czech University of Life Science Prague, Republik Ceko itu mencontohkan, ada vendor yang siap untuk instalasi, layanan purna jual untuk maintenance yang dapat diakses seperti menggunakan mobile phone pada saat ini.
“Semua dapat diakses dengan mudah dan nilai ekonomis dari investasi ini mudah diakses dan dibeli dengan murah atau investasi yang efisien,” kata Yayan.
Kedua, terkait investasi yang efisien untuk roofsolar PV tidak mudah. Yayan mencontohkan, di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Jerman, Spanyol atau Italia Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 Eurocent/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa Tengah Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 Eurocents/kWh pada 2017.
Baca Juga: Investasi PLTS di Tangkapan Air Batam, Perusahaan Luhut Gelontorkan Dana Rp7 Trilyun
Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50% menjadi 5-10 Eurocent/kwH.
“Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” katanya.
Menurut Yayan, jika melihat pada tarif dasar listrik (TDL) Indonesia harga akhir listrik di Indonesia berada di kisaran 6-8 Eurocents/kWh berdasarkan informasi dari PT PLN untuk TDL April – Juni 2021.
“Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 Eurocents/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” ungkap Yayan.
Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7% sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10%.
“Di sini ada kesenjangan antara daya beli vs price, investment vs economic price, harusnya investment = price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan.
Menurut kalkulasi Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB), jika tarif PLTS Atap tetap 100% atau Rp1.444,3 per KWh dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun, hingga 2030 akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun.
Mukhtasor, pakar energi dan guru besar Institut Teknologi 10 November Surabaya, menambahkan pemerintah atau negara harus bertanggung dari konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS Atap. Salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100% listrik dari PLTS Atap dari sebelumnya 65%.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS Atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi PLTS Atap. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor saat diskusi dengan media.
Menurut dia, apa pun keputusan nanti dalam Permen ESDM terkait PLTS Atap, keputusan itu diambil harus sudah memperhitungkan konsekuensi dan ada mitigasinya.
“Kalau ditetapkan 1:1 harus ada kompensai kepada PLN. Berapa beban kompensasinya? Begitu juga kalau 1:0,65, berapa kompensasi yang diberikan?,” katanya.
Artinya, lanjut Mukhtasor, APBN harus disiapkan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut. Dana APBN harus disiapkan untuk kuota tertentu.
“PLTS Atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS yang digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun/dipasang di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS Atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” kata dia.