Suara.com - Industri kelapa sawit telah menjadi salah satu motor penggerak perekonomian nasional. Baik di hulu maupun hilir, industri sawit mampu menunjukkan kinerja solid, termasuk di masa pandemi covid-19.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan, ketika ekonomi Indonesia tertekan akibat pandemi, industri sawit menjadi penopang ekonomi melalui kontribusi ekspor.
“Di sektor hilir, sawit juga menggerakkan industri makanan, oleochemical, hingga biofuel untuk sektor transportasi,” katanya dalam diskusi Industri Hilir Sawit Nasional dan Tantangan Keberlanjutan yang dilakukan secara online, Rabu (4/8/2021).
Kontribusi maupun potensi besar pengembangan industri sawit di Indonesia juga diikuti dengan tantangan besar. Fadhil menyebut, isu keberlanjutan atau sustainability menjadi tantangan utama industri sawit saat ini.
Baca Juga: Harga Sawit Riau Naik Tertinggi dalam Sejarah, Petani Bilang Begini
“Dalam dekade terakhir, industri sawit di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan. Dengan komitmen keberlanjutan, industri sawit akan terus berkembang,” sebutnya.
Bernard A. Riedo, RGE Indonesia Palm Business and Sustainability Director mengatakan, komitmen keberlanjutan dalam operasional industri sawit merupakan sebuah keharusan.
“Karena itu, aspek keberlanjutan menjadi inti transformasi positif dalam rantai pasok industri sawit RGE Indonesia,” katanya.
Melalui Asian Agri di sektor hulu dan Apical di sektor hilir, RGE Indonesia merupakan salah satu grup produsen dan eksporter terbesar kelapa sawit di Indonesia. Pasar ekspornya menjangkau lebih dari 30 negara di lima benua.
Komitmen dan praktik keberlanjutan membuat RGE Group dipercaya menjadi pemasok bahan baku oleh raksasa global seperti Unilever, Nestle, P&G, Kao, dan puluhan lainnya.
Baca Juga: Kabar Baik di Awal Agustus, Harga Sawit di Kalimantan Barat Menguat
Menurut Bernard, tantangan dalam bisnis sawit saat ini adalah harus bisa menjawab isu tentang keberlanjutan, tidak saja untuk memenuhi tuntutan pasar global, tapi juga menjalankan komitmen perusahaan.
“Kami memegang prinsip 5C, yakni Climate, Country, Community, Customer, dan Company,” sebutnya.
Bremen Young, Sustainability Director of Apical Group menambahkan, daya saing sawit yang jauh lebih tinggi dibanding minyak nabati lain membuat tuntutan terhadap aspek keberlanjutan juga begitu tinggi, baik dari pasar global, pemerintahan, maupun pemerhati lingkungan.
Karena itu, lanjut Bremen, Apical Group menerapkan metodologi pendekatan keberlanjutan untuk memastikan transparansi dan keterlacakan (traceability) sumber pasokan minyak sawit.
“Kami ingin memastikan pasokan berasal dari perkebunan yang menjalankan prinsip keberlanjutan, diantaranya melalui perlindungan area konservasi, perlindungan lahan gambut, serta memberikan dampak positif pada masyarakat di sekitar wilayah operasi,” katanya.
Bremen menyebut, pelaksanaan komitmen tersebut membuat produk Apical bisa diterima di pasar internasional dan memasok ke Eropa, Amerika, Asia, Australia, hingga Afrika. Inovasi untuk memastikan keberlanjutan juga terus dijalankan perusahaan.
“Diantaranya melalui pemanfaatan teknologi satelit untuk monitoring dan platform untuk verifikasi sumber pasokan ,” sebutnya.
Apical Group merupakan salah satu eksporter produk olahan sawit terbesar di Indonesia. Fasilitas pengolahan sawit dan biodesel Apical Group tersebar di Indonesia, China, hingga Spanyol.
Untuk pasar domestik, Apical masuk ke segmen minyak goreng curah serta pasar ritel, diantaranya merek Camar dan Harumas, serta Vitas Margarine. Baru-baru ini, produk minyak goreng Apical juga merambah pasar India melalui joint venture dengan ANA.