Suara.com - Pemerintah telah menerbitkan UU Cipta Kerja yang salah satunya ditujukan untuk menyederhanakan proses perizinan yang saat ini dirasakan masih berbelit-belit.
Pada industri hulu migas, kondisi tersebut masih menjadi kendala, baik di pusat maupun daerah.
Demikian kesimpulan dari acara Media Briefing IPA CONVEX 2021 yang bertema ‘Peluang dan Tantangan Investasi Migas Pasca Terbitnya Omnibuslaw’ pada Rabu (14/7/2021), secara daring.
Acara menghadirkan tiga narasumber penting di industry hulu migas, yaitu Komite Investasi Kementerian Investasi dan BKPM, Rizal Calvary Marimbo, Kepala Divisi Hukum SKK Migas, Didik Sasonon Setyadi, dan VP Legal, Commercial & Planning Premier Oil Natuna Sea B.V, Ali Nasir.
Baca Juga: Harga Gas 6 Dolar AS per MMBTU Membawa Keberkahan untuk Industri
Menurut Rizal, Omnibuslaw menjadi harapan untuk memperbaiki iklim investasi Indonesia yang masih kalah dari negara lain di Asia Tenggara.
“Dengan adanya Omnibuslaw UU Cipta Kerja, kita berharap persoalan perijinan bisa disederhanakan, ada kepastian hukum yang lebih baik, serta aturan yang tidak tumpang tindih karena Indonesia memiliki daya tarik ketersediaan sumber daya alam,” kata Rizal.
Dia menambahkan, pihaknya tengah menggodok perizinan agar lebih cepat dan mudah.
“Ke depan, kami akan dampingi investor sampai ke Kementerian terkait untuk mendapatkan izin,” Rizal menambahkan.
Senada dengan Rizal, Didik Setyadi mengatakan, penyederhanaan perizinan dan penyediaan lahan merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai target 1 juta barel per hari minyak bumi dan 12 juta miliar kaki kubik gas bumi.
Baca Juga: Menteri Siti: UU Cipta Kerja Bertujuan untuk Tumbuhkan Ekonomi Masyarakat
“Semangat lahirnya UU Cipta Kerja sejalan dengan kebutuhan SKK Migas untuk mencapai cita-cita tersebut. Oleh karena itu, kami berharap, kita semua bisa satu frekuensi dalam memperbaiki iklim investasi dan level kemudahan berusaha di Indonesia dengan dilandasi semangat UU Cipta Kerja ini,” ujar dia.
Didik menyebutkan, sebagai tindak lanjut UU Cipta Kerja ini, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko.
Perizinan sektor migas dan penunjang terdapat pada pasal 42 PP tersebut. Di sisi regulator, ditambahkannya, SKK Migas telah membuat One Door Service Policy (ODSP) yang membantu proses perizinan termasuk dari kementerian lain untuk aktivitas hulu migas.
ODSP yang diluncurkan pada Januari 2020 berhasil mempercepat layanan rekomendasi SKK Migas dari 14 hari menjadi rata-rata 3,2 hari, dan ditargetkan menjadi hanya 3 hari pada 2021.
Meski demikian, Didik mengakui UU Cipta Kerja dan PP yang telah terbit ini masih banyak yang belum bisa diimplementasikan, karena terdapat perbedaan karakter kegiatan usaha hulu migas dengan usaha lain sehingga membutuhkan peraturan kebijakan (beleids regel) tertentu.
“Hal yang belum diatur dan atau belum cukup diatur dalam UU Cipta Kerja dan turunannya perlu kita kaji, rumuskan dan dorong bersama-sama agar segera diatur dan ditetapkan guna mempercepat pencapaian target tersebut,“ kata dia.
Sementara Ali Nasir mengatakan, pihaknya sebagai pelaku usaha menyambut baik terbitnya UU Cipta Kerja. Menurut dia, selain penyederhanaan perijinan, investor juga berharap mendapat pendampingan baik melalui SKK Migas maupun BKPM.
“Kami berharap, proses perizinan ini dilakukan satu pintu dan satu atap. Kalau bisa yang maju ke kementerian atau lembaga terkait adalah SKK Migas atau BKPM. Hal ini karena investor hulu migas merupakan kontraktor SKK Migas (Pemerintah). Sehingga, yang memiliki proyek sebenarnya pemerintah,” ujar dia.
Menurutnya, apabila perizinan ditangani SKK Migas atau BKPM, kontraktor Migas tidak dibebani masalah administrasi sehingga dapat fokus pada pendanaan, pencarian sumber migas dan komersialisasi proyek migas.
Hal ini akan mempercepat penemuan cadangan dan komersialisasi proyek migas, yang akhirnya mempercepat tambahan penghasilan bagi pemerintah. Ali menambahkan, penyederhanaan diharapkan dapat dilakukan secara tepat di sektor hulu migas.
Hal itu dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi investor selain soal kepastian peraturan dan fasilitas perpajakan yang menarik.
“Kita berharap dengan terbitnya UU Cipta Kerja, ease of doing business dapat terwujud, adanya perizinan yang sederhana baik dari segi jumlah maupun waktu sehingga mempermudah pelaku usaha menjalankan bisnis,” ujar dia.