Suara.com - Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyeru masyarakat untuk tidak menggunakan produk-produk plastik sekali pakai, termasuk galon sekali pakai yang ada di pasaran.
Mereka beralasan, kehadiran produk-produk kemasan plastik sekali pakai ini akan menambah semakin rumitnya penyelesaian masalah sampah plastik di Indonesia yang sudah sangat merusak lingkungan.
Seperti diketahui, dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, Pemerintah menetapkan target 100% sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025. Target ini diukur melalui pengurangan sampah sebesar 30%, dan penanganan sampah sebesar 70%.
Mahasiswa Departemen Kesehatan Mental dan Lingkungan Masyarakat (Kesling) UNY, Tama mengatakan penolakan terhadap penggunaan galon sekali pakai itu dilakukan karena kehadirannya akan semakin membahayakan lingkungan.
Baca Juga: Uji Lab Terbaru BPOM 2021 Pastikan Galon Guna Ulang Tetap Aman
“Seperti halnya kemasan-kemasan plastik sekali pakai yang lain, kehadiran galon sekali pakai ini akan sangat menambah bahaya terhadap lingkungan. Plastik-plastik ini kan sangat susah terurai, jadi akan semakin mencemari lingkungan dan sangat berbahaya,” ujar Tama ditulis Senin (5/7/2021).
Karenanya, Tama menyampaikan salah satu program Departemen Kesling UNY akan berusaha meminimalkan anggapan bahwa galon sekali pakai lebih baik dari galon guna ulang yang ramah lingkungan.
“Jadi, kami mengimbau supaya seluruh masyarakat agar tidak menggunakan galon sekali pakai ini,” katanya.
Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Kesling UNY untuk mensosialisasikan gerakan “Tolak Galon Sekali Pakai” ini adalah melalui webinar dengan menghadirkan narasumber seorang mahasiswa Doktor Ilmu Lingkungan UGM, Cynthia Permata Sari, S.Si., M.Ling.
Dalam paparannya, Cynthia menyampaikan bahwa kehadiran produk kemasan air galon sekali pakai ini hanya akan meningkatkan penumpukan sampah plastik di Tempat-tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kondisi saat ini saja sudah menunjukkan banyaknya TPA yang kelebihan kapasitas.
Baca Juga: Komunitas Sungai Watch: Bersihkan Sungai di Bali dari Sampah Plastik
“Jadi, saya memastikan kehadiran produk baru air kemasan galon sekali pakai ini pasti berpengaruh terhadap lingkungan, tidak hanya lingkungan fisik tapi juga lingkungan sosial,” ujarnya.
Dia mengatakan produsen produk air kemasan galon sekali pakai ini masih menggunakan framework lama yang menganut prinsip perekonomian linear, yaitu “take-make-waste” (mengambil – memproduksi – membuang sampah begitu saja).
Menurut Cynthia, itu merupakan konsep yang terjadi selama ini sejak revolusi industri dan tidak bisa lagi digunakan untuk kondisi sekarang.
“Seharusnya produsennya beralih dari paradigma ekonomi linear ke paradigma baru dengan pendekatan yang lebih sistemik dan holistic yang mengarah ke ekonomi sirkular. Kondisi linear itu sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan pada kondisi saat ini,” tukasnya.
Apalagi, pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 79 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, juga sudah mewajibkan para produsen harus sudah menyusun dan menyerahkan dokumen rencana pengurangan sampah mereka.
Itu artinya, para produsen berbahan kemasan plastik juga harus membuat konsep bisnis yang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sosial (sustainable brand). Para produsen itu tidak lagi hanya menghasilkan produk dan marketing yang baik saja, melainkan juga harus peduli terhadap lingkungan.
“Untuk itu, diperlukan transisi ke sustainable future yang berhubungan dengan sesuatu yang restoratif dan regeneratif yang mengarah kepada ekonomi sirkular,” katanya.
Dia mengatakan implementasi sustainable brand itu dapat diwujudkan melalui triple bottom line, yaitu people (social equity), planet (evironmental stewardship), dan profit (economic prosperity).
Triple bottom line ini berfungsi untuk membantu menyeimbangkan alam, sosial, dan bisnis, serta meningkatkan brand awareness dalam menjalin hubungan yang baik dengan konsumen dengan mengurangi dampak buruk bagi lingkungan.
“Jadi, produsen harus bisa mengurangi produk-produk kemasan sekali pakai dan mengadopsi model penggunaan ulang jika memungkinkan,” tukasnya.