Pemerintah Ajak Masyarakat Bijak Berekspresi di Dunia Digital

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 24 Juni 2021 | 11:04 WIB
Pemerintah Ajak Masyarakat Bijak Berekspresi di Dunia Digital
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Kemkominfo, Bambang Gunawan.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945.

Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan ruang digital dapat menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Seiring berkembangnya dinamika masyarakat di dunia digital, beberapa pasal dalam UU ITE justru dianggap karet dan multitafsir. Hingga pada Februari 2021, pemerintah membentuk Tim Revisi UU ITE dan Tim Pedoman Tafsir, yang diharapkan dapat menjadi salah satu langkah yang dapat memperkuat demokrasi, dan melindungi kebebasan sipil dan pers serta menghindari penanganan yang terlalu eksesif.

Dalam rangka menjaga amanat UUD 1945 terkait kemerdekaan berekspresi, upaya peningkatan literasi digital juga terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya berekspresi dengan bijak dan positif.

Baca Juga: KPI Berharap Masyarakat Mudah Peroleh Set Top Box TV Digital

Untuk mendukung hal tersebut, maka Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyelenggarakan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema Kebebasan Berekspresi di Era Digital, pada Rabu, 23 Juni 2021.

Acara tersebut diselenggarakan secara daring (online) melalui platform aplikasi Zoom Meeting, serta dapat disaksikan secara live streaming melalui kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.

Beberapa narasumber yang hadir antara lain Josua Sitompul, S.H., M.M., PhD. (Koordinator Hukum dan Kerjasama, Kemkominfo), Achsanul Habib (Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri), Kombespol Dani Kustoni, S.H., S.I.K., M.Hum., (Kasubdit III Dittipitsiber Bareskrim Polri), dan Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium MAFINDO), serta dibuka oleh sambutan dari Drs. Bambang Gunawan, M.SI (Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Kemkominfo).

Dalam sambutannya, Bambang Gunawan mengatakan bahwa kondisi internet di Indonesia saat ini bagai pisau bermata dua bagi penggunanya, terutama generasi Y atau milenial yang menjadi pengguna mayoritas internet.

“Banyak informasi positif yang bisa diperoleh dari internet, tapi di sisi lain internet terutama media sosial dibanjiri informasi negatif, tak terkecuali hoaks tentang COVID-19, vaksin, ujaran kebencian, radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme. Bahkan Microsoft menyebut warganet Indonesia memiliki tingkat digital civility yang rendah dibanding negara lain,” ujar Bambang ditulis Kamis (24/6/2021).

Baca Juga: Kominfo: Migrasi ke TV Digital Bukan Kiamat, Harga Set Top Box Murah

Bambang juga menyampaikan apresiasinya kepada Polri melalui virtual police yang membuat ruang digital kondusif, Kementerian Luar Negeri yang aktif mempromosikan kebebasan berekspresi Indonesia ke luar negeri, dan MAFINDO turut membantu mengedukasi masyarakat untuk memerangi hoaks dan ujaran kebencian.

Di dalam berekspresi, Josua Sitompul berpendapat bahwa pelaksanaannya tentu melalui konten yang akan membuat persepsi atau usaha dalam memaknai, menafsirkan, dan menginterpretasi. Kemudian menurutnya dalam berekspresi di ruang siber juga berhubungan dengan post-modernism atau post-truth di mana ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, dan juga etika yang sifatnya subjektif.

“Oleh karena itu, adanya begitu banyak aspek yang mempengaruhi kebebasan berekspresi seseorang, maka semakin jelas dibutuhkan suatu aturan hukum yang bisa menjembatani agar orang tetap bisa bebas berekspresi, tetapi tidak melanggar kebebasan berekspresi orang lain,” ujar Josua.

Ia juga mengatakan bahwa jika dilihat lebih dalam lagi tujuan dibuatnya UU ITE adalah untuk merespon perkembangan teknologi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik khususnya pemerintahan, mengembangkan perdagangan dan perekonomian, dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara.

Hadir pula Achsanul Habib yang menyampaikan bahwa di mekanisme HAM PBB, sudah ada yang disebut dengan special rapporteur yang akan mengimplementasi hak untuk kebebasan ekspresi. Dalam resolusi yang diberikan, disebutkan bahwa freedom of expression adalah jantung dari HAM.

“Tetapi di sisi lain kebebasan berekspresi tidak independen, dia berkaitan dan bersinggungan dengan hak-hak yang lain seperti halnya organ tubuh manusia,” jelasnya.

Achsanul juga berpendapat bahwa racun utama yang mengancam kebebasan ekspresi adalah disinformasi, terutama di masa pandemi. Menurutnya, negara harus dapat menjamin bahwa perusahaan-perusahaan media dapat menjalankan bisnisnya dengan tetap berkesesuaian dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya freedom of expression, bukan menjadi medium yang menyebarkan disinformasi.

Mengenai perlindungan yang bisa diberikan di ruang siber mengenai kebebasan berekspresi, Dani Kustoni menyampaikan bahwa Polri melalui program Cyber Campaign melalui transformasi operasional, dan transformasi pelayanan publik, dengan mengoptimalkan kampanye siber, menghadirkan polisi dunia maya (virtual police), mengedepankan langkah-langkah restorative justice, dan juga mengedukasi dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.

Cyber Campaign Dittipidsiber hadir melalui kanal SiberTV, portal Patrolisiber.id, optimalisasi media sosial di seluruh jajaran siber Polri, dan juga Peringatan Virtual Polisi.

“Peringatan Virtual Polisi ini kita tidak terbatas pada subjektivitas Polri itu sendiri, tapi kami juga melakukan langkah-langkah yang tentunya sangat hati-hati ketika akan menyampaikan atau memberikan edukasi melalui peringatan,” jelasnya.

Septiaji Eko Nugroho berpendapat bahwa banyak positif yang bisa diambil dari internet, namun ia juga mengatakan kalau ketika budaya dan etika belum sepenuhnya diadopsi ke dunia digital, akan ada problem di sana. Salah satu contohnya adalah hasil survei yang menyatakan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia yang terburuk se-Asia Tenggara.

Ia juga menambahkan bahwa pengguna internet di Indonesia masih dihantui oleh maraknya berita hoaks yang tersebar di media sosial.

“Di tahun 2018 ada sekitar dua sampai tiga hoaks setiap harinya, lalu di tahun 2019, tahun politik, tahun pemilu, itu ada 1200 hoaks yang beredar di masyarakat kita yang dominasinya adalah isu politik. Nah, di tahun 2020, tahun pandemi, itu hoaksnya meningkat jadi rata-rata enam hoaks setiap harinya, dan didominasi oleh isu kesehatan,” paparnya.

Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan bukan hanya masalah angka, tetapi ketika konten-konten negatif itu sudah bisa berdampak langsung kepada masyarakat kita dan bisa merusak mental bangsa.

Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dihadiri oleh lebih dari 350 peserta yang bergabung melalui Zoom Meeting.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI