BPK Beri Predikat WTP Terhadap Laporan Keuangan APBN 2020

Selasa, 22 Juni 2021 | 13:24 WIB
BPK Beri Predikat WTP Terhadap Laporan Keuangan APBN 2020
BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 yang menyajikan secara wajar dalam semua hal.

Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengatakan LKPP tersebut menyajikan secara wajar dalam semua hal material, posisi keuangan per 31 Desember 2020, realisasi anggaran, operasional, dan perubahan ekuitas.

"Dari hasil pemeriksaan atas LKPP sebagai konsolidasi dari 86 LKKL dan 1 LKBUN Tahun 2020 menunjukkan bahwa LKPP telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi pemerintahan, sehingga opininya adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)," kata Agung dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6/2021).

Sebagaimana diketahui bahwa LKPP merupakan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan APBN oleh Pemerintah Pusat. Pertanggungjawaban tersebut meliputi tujuh komponen laporan keuangan, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Baca Juga: Saksi Mengaku Suap Pegawai BPK Sulsel Rp 330 Juta, Begini Respons BPK

Berikut adalah laporan BPK terhadap LKKP Pemerintah pada tahun 2020:

Realisasi pendapatan negara dan hibah Tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran, yang terdiri dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.285,14 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp343,81 triliun dan Penerimaan Hibah sebesar Rp18,83 triliun.

Penerimaan Perpajakan sebagai sumber utama pendanaan APBN, hanya mencapai 91,50 persen dari anggaran atau turun sebesar 16,88 persen dibandingkan dengan Penerimaan Perpajakan Tahun 2019 sebesar Rp1.546,14 triliun.

Sementara itu realisasi belanja negara Tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.832,95 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp691,43 triliun, dan dana desa sebesar Rp71,10 triliun.

Sedangkan defisit anggaran Tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB. Namun, realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun.

Baca Juga: Banyak Korupsi, Indonesia Susah Lepas dari Jebakan Middle Income Trap

Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri sebesar Rp1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

Secara akrual, Laporan Operasional (LO) Tahun 2020 menunjukkan nilai pendapatan operasional sebesar Rp1.783,19 triliun, beban operasional sebesar Rp2.601,11 triliun, defisit dari kegiatan operasional sebesar Rp817,92 triliun, defisit dari kegiatan non operasional sebesar Rp54,70 triliun, dan defisit LO sebesar Rp872,62 triliun.

Dibandingkan dengan Tahun 2019, pendapatan operasional mengalami penurunan 17,80 persen dan beban operasional mengalami peningkatan 7,36 persen sehingga defisit LO mengalami kenaikan sebanyak 250,13 persen.

Sementara itu posisi keuangan pemerintah pusat per 31 Desember 2020 menggambarkan saldo aset, kewajiban, dan ekuitas masing-masing sebesar Rp11.098,67 triliun, Rp6.625,47 triliun, dan Rp4.473,20 triliun.

Dibandingkan dengan Tahun 2019, aset pemerintah mengalami peningkatan sebesar Rp631,14 triliun, kewajiban mengalami peningkatan sebesar Rp1.285,25 triliun, dan ekuitas mengalami penurunan sebesar Rp654,11 triliun.

Kenaikan saldo aset sebagian besar terjadi karena kenaikan atas Investasi Jangka Panjang dan Dana yang Dibatasi Penggunaannya masing-masing sebesar Rp171,88 triliun dan Rp172,46 triliun. Sementara itu, kenaikan saldo kewajiban sebagian besar terjadi karena peningkatan nilai Utang Jangka Panjang Dalam Negeri sebesar Rp1.191,98 triliun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI