Suara.com - Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) adalah program pemerintah. Itulah yang menjadi alasan Apt. Adi Wibisono, S.Si, M.Kes mendaftarkan Apotek Adijaya Farma miliknya, bermitra dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2019.
Menurutnya, sebagai profesi, seorang apoteker harus mendukung dan berkontribusi dalam program tersebut.
“Program negara, program pemerintah, kita harus ikut di situ. Sebagai seorang tenaga kesehatan, sudah selayaknya kalau ikut mendukung dalam program negara. Kenapa? JKN merupakan program pelayanan kesehatan pemerintah yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Sustainable program,” jelasnya.
Meskipun dalam pelaksanaannya, apotek yang berada di Kabupaten Tulungagung ini masih banyak kekurangan, Adi mengatakan, terus berusaha menutupi kekurangannya melalui upaya pemenuhan standar untuk perubahan layanan yang lebih baik. Adi menyebutkan, ada 3 standar yang telah dilakukan di apoteknya, yakni standar pelayanan kefarmasian di apotek, standar profesi apoteker dan kompetensi, serta standar tambahan pelayanan apotek yang diinisiasi Adi.
Baca Juga: Berikut Totalitas BPJS Kesehatan Dalam Melayani Peserta JKN-KIS
“Ketika berbicara ketiga standar itu, saya juga bisa berusaha menjamin mutu pelayanan apotek. Apa yang menjadi tugas saya, sesuai komitmen saya dengan BPJS, saya hormati dan penuhi. Bagi saya secara prinsip, kita ambil peran itu (Program JKN). Take it or leave it!,” pungkasnya.
Tidak hanya itu, Adi juga membuat inovasi untuk meningkatkan mutu layanan di apoteknya. Adi mengutamakan kinerja yang solid pada timnya di apotek, semua harus bisa saling membantu dan ikut bertanggungjawab.
“Kalau bicara tentang mutu biasanya (tradisional) diserahkan apoteker atau pimpinan, sekarang tidak, semua harus ikut bertanggungjawab dan sesuai pendelegasian wewenangnya. Misal yang bagian ngambilkan obat tidak ada, pasien banyak, kasir harus bisa (membantu) ngambilkan obat. Atau seperti tenaga kefarmasian, ketika Apotek rame, dipaksa jadi kasir atau tenaga lainnya, kenapa tidak?” terangnya.
Sementara itu, Adi yang juga sebagai pengajar di salah satu perguruan tinggi di Kediri, sempat menulis terkait pelayanan kefarmasian di apotek dalam aspek risiko dalam pandemi Covid-19, satu langkah antisipasi oleh apoteker.
Ia mencatat, ada 8 langkah yang bisa dilakukan seorang apoteker. Beberapa diantaranya, membangun relasi, adaptasi IT (Informasi dan Teknologi) dan penguatan eksistensi apoteker praktik, pengelolaan SDM (Sumber Daya Manusia), termasuk tata kelola dana/anggaran. Menurutnya, kalau semua diterapkan apotek bisa bertahan.
Baca Juga: Siap-siap, BPJS Kesehatan Buka Lowongan Ratusan Verifikator
“Misal yang pertama, membangun relasi yang kuat dengan pelanggan, ini sangat erat dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan adalah mitra apotek, termasuk unsur penting pengelolaan apotek, lalu melakukan adaptasi IT. Komunikasi yang terhubung langsung dengan pelanggan dan stakeholder dilakukan dengan memanfaatkan IT. Hal ini akan mempermudah kerja apotek. Tentunya pengelolaan SDM apotek dengan unsur K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Strategi pengalokasian dana, adanya proyeksi penganggaran pengadaan, apa yang dibutuhkan apotek, sekarang itu yang diutamakan,” jelasnya.
Lebih jauh, menurutnya, eksistensi profesi akan tampak nyata jika apoteker dengan kompetensi yang dimilikinya, dapat membantu langsung masyarakat dalam edukasi dan swamedikasi melalui komunikasi dan pemberian informasi tentang pemilihan produk farmasi.
Adi mengaku, kerugian apoteknya menurun drastis di tahun ketiga berjalan sebagai mitra BPJS Kesehatan. Sebagai motivasi kepada apotek mitra BPJS Kesehatan yang lain, Adi menghimbau, apabila ada potensi daya ungkit apotek, maka apoteker harus bisa meyakinkan dirinya atau pemilik modal untuk mengembangkan kualitas pelayanannya.
Selain itu, Adi menghimbau agar apotek dapat menerima Program Rujuk Balik (PRB) BPJS Kesehatan sebagai salah satu opsi strategi pemasaran apotek. Salah satunya untuk meningkatkan omset dan brand image apotek, sehingga apoteker harus bisa berkomitmen dengan keberlangsungan hidup apotek.
“Kalau apotek memiliki bonus pendapatan yang baik dari kita berpraktik, artinya apoteker mendapatkan haknya, karyawan mendapatkan haknya, pemilik bahagia, apotek dapat memnuhi standar pelayanan kefarmasian dan standar profesi, memiliki image yang baik, dan pada akhirnya apotek survive,” pungkasnya.