Adapun, Sunarso mengatakan tranformasi digital sejauh ini sudah banyak memberi manfaat pada BRI baik dari sisi efisiensi operasional maupun peningkatan pendapatan dari bisnis baru. Dia mencontohkan Agen BRILink BRI saat ini sudah mencapai lebih dari 500.000 agen, naik pesat dari posisi 2015 yang hanya 50.000 agen.
Volume transaksi pun melesat, naik ke Rp673 triliun pada 2019 dari posisi 2015 sekitar Rp35 triliun. Bahkan pada periode pandemi tahun lalu volume transaksi agen BRILink mencapai lebih dari Rp800 triliun.
"Kami pun mendapat fee Rp788 miliar pada 2019, dan naik menjadi Rp1,2 triliun pada tahun lalu. Dan jangan lupa ini adalah sharing ekonomi, masyarakat kami perkirakan bisa dapat fee sampai Rp3 triliun," katanya.
Dalam transformasi digitalnya, BRI mengembangkan aplikasi BRISPOT untuk memudahkan bisnis proses dan mempercepat proses kredit mikro. Berkat aplikasi ini, BRI mencatat peningkatan produktivitas booking kredit mikro, dari rerata Rp2,5 triliun per bulan (sebelum pakai BRISPOT) naik menjadi minimal Rp4 triliun per bulan.
Proses kredit mikro BRI pun sudah menjadi lebih cepat, dari semula 2 minggu, menjadi 2 hari saja dan ternyata overshoot, sekarang sudah bisa 2 jam prosesnya. Di samping itu, BRI melakukan perubahan kultur di sisi sumber daya manusia. Bagaimana pun kultur digital dari SDM yang mampu membuat transformasi digital menjadi lebih berkelanjutan dan optimal dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Kendati demikian, Sunarso mengklaim transformasi digital yang dilakukan BRI tak serta membuat BRI menjadi digital banking. Perseroan lebih memilih menjadi hybrid bank yang lebih seimbang dalam mengikuti adopsi digital masyarakat.
"Kami ini bank rakyat. Rakyat belum semuanya digital. Tapi kami juga tidak lamban dalam bertansformasi," tutupnya.