Suara.com - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan catatan penting dalam Bonn Climate Change Conference (BCCC) 2021. BCCC berlangsung secara virtual selama 3 minggu sejak 31 Mei hingga 17 Juni 2021.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi mengatakan ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, mendorong finalisasi pembahasan agenda Article 6 Paris Agreement.
Kedua, mendorong pernyataan common time frame NDC dalam siklus 10 tahun dengan review pada tahun ke-5. Ketiga, mendorong agar pertemuan ini menjadi kesempatan untuk menguraikan modalitas terkait Common Reporting Table (CRT) untuk Inventarisasi GRK dan Common Reporting Format (CRF) untuk kemajuan dan dukungan NDC dalam agenda kerangka transparansi.
Ketiga, KLHK juga menekankan agar komitmen negara maju dalam memobilisasi US$100 miliar setiap tahun sampai dengan tahun 2020 secara akuntabel, memadai, dan transparan dan menjadi dua kali lipat pada tahun 2025.
Baca Juga: Kerjasama dengan Berbagai Pihak, KLHK Lepasliarkan 7 Orangutan di Kalteng
Keempat, menekankan pentingnya elemen adaptasi yang harus diperlakukan secara seimbang dengan mitigasi dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris, dan Mempercepat implementasi Koronivia Joint Work on Agriculture.
"Poin-poin tersebut diharapkan menjadi perhatian semua negara pihak untuk kesuksesan perundingan di COP 26 UNFCCC yang dijadwalkan akan dilaksanakan di Glasgow pada 1-12 November 2021," tutur Laksmi dalam keterangannya pada Kamis, (3/6/2021).
BCCC atau dikenal dengan pertemuan SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan SBI (Subsidiary Body for Implementation) pada tahun 2021 ini dinamai 2021 May-June Climate Change Conference. Pertemuan ini akan bersifat informal dan tidak ada pengambilan keputusan formal hingga Para Negara Pihak bertemu atau menghadiri pertemuan secara in-person kembali. Secara substansi, agenda pertemuan kali ini akan merefleksikan mandat yang harus dilaksanakan tahun 2020 dan 2021 dan menyiapkan modalitas untuk perundingan COP 26 UNFCCC di Glasgow.
May June Climate Conference 2021 telah dibuka secara resmi pada 31 Mei 2021 oleh Presiden COP25 dan Presiden COP26. Untuk mengatasi tantangan dan kendala pertemuan virtual, periode sesi telah diperpanjang dari biasanya dua minggu menjadi tiga minggu. Waktu setiap pertemuan akan dibuat sedemikian rupa guna mengakomodasi negara-negara dari zona waktu yang berbeda, misalnya minggu ke-1, Indonesia kebagian pukul 20.00 – 24.00, minggu ke-2 pada pukul 04.00 – 07.00, dan minggu ke-3 pada pukul 08.00 – 11.00.
Dalam pengantarnya, Presiden COP 25 Ms. Carolina Schmidt mendesak, para pihak untuk memaksimalkan kemajuan pada sesi ini, menyerukan tingkat solidaritas dan komitmen yang baru. Schmidt menyoroti isu transparansi, pasar, adaptasi, dan keuangan dalam perubahan iklim.
Baca Juga: 10 Satwa Liar Dilepasliarkan ke Habitat Alami di Papua
Mr. Alok Sharma, Presiden COP 26 yang akan datang menyampaikan, bahwa dunia sedang mengamati isu ini dan mendorong para pihak untuk menggunakan sesi ini untuk menghasilkan draft teks untuk dibawa ke COP 26 untuk finalisasi dan adopsi.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC Ms. Patricia Espinosa menyampaikan, tahun ini telah menyaksikan beberapa momentum perubahan iklim, keadaan darurat iklim memburuk, rencana saat ini tidak sejalan dengan tujuan Paris, dan negosiasi terlambat dari jadwal. Selanjutnya Espinosa menyerukan kepemimpinan dan kepercayaan, dan menekankan pentingnya pendanaan dalam perubahan iklim.
Dalam momen pembukaan tersebut, Delegasi Indonesia dipimpin oleh Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK selaku National Focal Point to the UNFCCC Indonesia.
Delegasi RI berjumlah 100 delegasi berasal dari lintas kementerian dan lembaga, yaitu: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Sekretariat Kabinet, Indonesia Research Institute on Decarbonization (IRID), Universitas Indonesia, Mercy Corps, dan Komite Nasional Indonesia-World Energy Council.