Suara.com - Menurut data Kinerja Pengadaan LKPP Per 17 Mei 2021, anggaran belanja pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) pemerintah daerah TA 2021 adalah sebesar Rp 606,6 triliun serta sebanyak Rp 586,1 triliun sudah diumumkan dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan (SiRUP).
Ini artinya, 97% total anggaran belanja PBJP Pemda sebenarnya sudah bisa dilihat dan dikompetisikan oleh para pelaku usaha. Namun dari anggaran tersebut baru terealisir Rp 43,8 triliun atau 8% .
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga menyoroti rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah daerah. Presiden kemudian meminta pemerintah daerah untuk lebih mempercepat belanja agar target pertumbuhan ekonomi 7% pada kuartal II dapat tercapai.
Untuk itu, LKPP dan Kemendagri telah mengeluarkan Surat Edaran Bersama Nomor 027/2929/SJ dan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah pada tanggal 11 Mei 2021.
Baca Juga: Lebih 450 Paket Proyek Pemprov Sulsel Belum Dilelang, Apa Masalahnya ?
Kepala LKPP Roni Dwi Susanto mengatakan, langkah percepatan pertama yang harus diambil oleh Pemerintah Daerah adalah dengan segera melakukan penyesuaian organisasi pengadaan barang/jasa. Diantaranya, Pengguna Anggaran (PA) menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Apabila tidak ada PPK, maka tugas PPK dapat dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran sesuai pendelegasian dari PA. Selain itu PA dan KPA dapat menugaskan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) untuk melaksanakan tugas PPK. Baik PPK ataupun PPTK wajib memiliki sertifikat kompetensi PBJ, atau setidaknya memiliki sertifikat PBJ tingkat dasar," kata Roni ditulis Selasa (1/6/2021).
Selanjutnya, dalam rangka memenuhi kewajiban penggunaan PDN (produk dalam negeri), maka Pemda wajib mengalokasikan paling sedikit 40% nilai APBD untuk usaha mikro kecil (UMK), dan koperasi.
Kemudian, perangkat daerah wajib menggunakan produk dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling sedikit 40%.
Apabila ada penyedia usaha non kecil atau koperasi yang melaksanakan pekerjaan, maka wajib bekerjasama dengan usaha kecil/koperasi dalam bentuk kemitraan, subkontrak sesuai kemampuan pelaku usaha. Pemda juga didorong untuk mengutamakan belanja PBJ kepada pedagang yang tergabung dalam marketplace yang terdaftar dalam Program Bela Pengadaan.
Baca Juga: Istri Meninggal Dunia Usai Terpapar Corona, Kepala BPBJ Kepri Misbardi Alami Sesak Nafas
Untuk memperlancar transaksi pembayarannya, bendahara di masing-masing SKPD menggunakan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dari Bank Pembangunan Daerah yang bekerjasama dengan Bank BUMN.
“Selain itu, bendaraha tidak perlu meminta bukti pertanggungjawaban seperti SPK, meterai, cap penyedia, atau bahkan tanda tangan untuk transaksi sampai dengan Rp 10 juta maka cukup melampirkan bukti pembelian," ucap Roni.
Berikutnya, menyederhanakan bentuk kontrak dan bukti pertanggungjawaban pengadaan. Roni menyatakan dalam SEB disebutkan bahwa untuk pembelian hingga Rp 10 juta, pelaku usaha cukup melampirkan bukti pembayaran, sedangkan untuk pembelian hingga Rp 50 juta maka kewajibannya hanya menggunakan kuitansi.
Selanjutnya, untuk pengadaan barang/jasa Rp 50 juta – Rp 200 juta menggunakan Surat Perintah Kerja.
“Termasuk Jasa konsultansi paling banyak Rp 100 juta dan konstruksi paling banyak Rp 200 juta menggunakan SPK. Untuk pengadaan melalui e-purchasing cukup menggunakan surat pesanan,” tukasnya.
Roni menyatakan, LKPP, Kemendagri dan stakeholder terkait akan melakukan langkah monitoring dan evaluasi secara periodik kinerja pengadaan barang/jasa pemerintah daerah.
"Maka untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola pengadaan, perangkat daerah diingatkan untuk memanfaatkan sistem pengadaan secara elektronik yang dikembangkan oleh LKPP," pungkasnya.