Suara.com - Ternyata, buah pohon mangrove bisa diolah menjadi berbagai macam makanan dan minuman, seperti peyek, makanan ringan, hingga dodol. Dalam bentuk minuman pun, buah dari pohon mangrove bisa diolah menjadi sirup, kopi, teh dan jus yang bisa lansung diminum.
Hal inilah yang dilakukan Karang Taruna Kecamatan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Para anggotanya menginisiasi ibu-ibu di kawasan tersebut untuk mengolah pohon mangrove sejak 2017.
Ketua Karang Taruna Muara Gembong, Rian Hafiz Fauzi mengatakan, ide pengolahan pohon mangrove berawal dari rasa keprihatinan para anggota erhadap perekonomian warga.
"Kalau misalkan mereka tidak ada penghasilan dari laut atau tambak, otomatis memanfaatkan apa yang bisa diolah, berawalnya dari situ," kata Rian
Baca Juga: Program dan Kinerja Kemensos Kini Bisa Diketahui Masyarakat lewat PPID
Ide pengolahan pohon mangrove dari Rian dan kawan-kawan membuahkan hasil. Produk hasil olahan pohon mangrove mendapatkan peringkat kedua sebagai makanan pengganti nasi dari pemerintah Kabupaten Bekasi.
Hal ini membuat Karang Taruna Muara Gembong semakin serius mendorong ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok yang diberi nama Kelompok Bahagia Berkarya (Kebaya) untuk menekuni produksi pengolahan pohon mangrove.
"Bikin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Bareng-bareng kita di marketing, kita pasarkan, kita kenalkan produk Muara Gembong dari ibu-ibu Kebaya ini. Alhamdulillah sudah ada di supermarket di sekitar Kabupaten Bekasi," sambungnya.
Namun demikian, biaya produksi yang cukup tinggi membuat harga produk olahan dari pohon mangrove ini sedikit lebih mahal saat dipasarkan.
"Kita jauh dari pusat kota. Kalau mendapatkan bahan-bahan dari alam itu gampang, tetapi yang sulit itu untuk kemasannya itu yang membuat harganya tinggi," ujar Rian.
Baca Juga: Kemensos Tekankan Pentingnya Peran Keluarga pada Peringatan HLUN ke-25
Rian berharap, biaya produksi yang tinggi bisa ditekan sehingga produk olahan pohon mangrove bisa bersaing dengan produk-produk lain di pasaran.
Secara terpisah, Alpiah (40), yang didapuk sebagai Ketua Kebaya menjelaskan, pengolahan berbagai produk makanan dan minuman dari pohon mangrove ini dilakukan untuk membantu perekonomian warga. Dalam proses produksi makanan dari pohon mangrove, anggota Kebaya yang berjumlah 15 orang dibagi menjadi tiga bagian.
"Terbagi 3 bagian petani, pencari buah, pengolah. Pencari buah ibu-ibu yang lanjut usia sebanyak 2 orang, petani mangrove ada 6 orang, dan pengolah hingga menjadi makanan ada 7 orang," kata Alpiah.
Ia menyebutkan, target utama dari pemasaran produk hasil olahan mangrove adalah para wisatawan yang berkunjung ke daerah Muara Gembong. Dia menyebutkan, omset yang diterima dari produk olahan mangrove di masa pandemi berkisar Rp3 sampai Rp5 juta per bulan.
"Kalau sebelum pandemi, omset kita bisa Rp7 sampai Rp10 juta per bulan," sambungnya.
Alpiah juga menjelaskan, respons para pembeli produk olahan pohon mangrove itu cukup baik. Namun harga yang tinggi menjadi kendala untuk bersaing di pasaran.
"Kita berharap ada pelatihan untuk marketing dari pihak-pihak terkait, sehingga produi kita bisa lebih dikenal oleh masyarakat," tutur Alpiah.