Suara.com - Pada 14 Mei 2021, Federal Aviation Administration (“FAA”) AS mengeluarkan Airworthiness Notification untuk pesawat Boeing 737-300, 400, dan 500 series berdasarkan informasi yang dipelajari dalam penyelidikan kecelakaan Sriwijaya Air Flight SJ 182.
Pemberitahuan tersebut menyatakan ada "kondisi tidak aman" di pesawat. FAA menemukan bahwa kegagalan kabel syncho flap mungkin tidak terdeteksi oleh komputer auto-throttle. Cacat ini "dapat mengakibatkan hilangnya kendali atas pesawat".
Investigasi awal oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi Indonesia (KNKT) menunjukkan adanya dorongan asimetris dari mesin sebelum SriWijaya Air SJ 182 menukik fatal.
Secara spesifik, throttle kiri berkurang sementara throttle kanan tidak. Sedangkan FAA menyatakan kecil kemungkinan kecelakaan itu terjadi karena akibat langsung dari kegagalan kabel syncho, itu terlalu dini untuk menarik kesimpulan yang pasti.
Baca Juga: Tim Pencari Sriwijaya Air Kecelakaan Kini Mencari KRI Nanggala-402 di Bali
Laporan awal KNKT menunjukkan bahwa gaya dorong asimetris membuat pesawat terguling dan menukik. Pesawat menukik lebih dari 3.000 meter dalam waktu kurang dari satu menit.
Pada 15 April, Herrmann Law Group menggugat The Boeing Company atas nama 16 keluarga korban yang tewas saat pesawat itu jatuh di Laut Jawa di luar Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Semua 62 orang di dalam pesawat itu tewas, termasuk 12 awak dan tujuh anak anak.
Gugatan Herrmann Law Group, yang diajukan ke Pengadilan Tinggi King County di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, menyatakan Boeing bersalah. Gugatan itu menuduh Boeing gagal memperingatkan maskapai penerbangan dan pengguna lainnya tentang cacat pada throttle otomatis, dan bahayanya memarkir pesawat selama beberapa bulan.
Throttle otomatis pada 737 memiliki sejarah panjang masalah yang berbahaya.
Pada tahun 2000, FAA menyadari adanya kecacatan dan memerintahkan operator pesawat 737 untuk mengganti komputer throttle otomatis setelah adanya laporan daya dorong yang tidak seimbang.
Baca Juga: KNKT Berhasil Unduh Percakapan Terakhir Pilot Sriwijaya Air SJ182
Enam tahun kemudian, dalam dua penerbangan terpisah, auto-throttle pada 737 pesawat secara misterius gagal saat pesawat mendekati bandara untuk mendarat.
Dalam kedua kasus tersebut, pilot dapat memulihkan keadaan dan terhindar dari kecelakaan. Namun, pada tahun 2009, sebuah Boeing 737-800 milik Turkish Airlines jatuh saat mendekati Bandara Amsterdam ketika throttle otomatis tidak berfungsi. Sembilan penumpang tewas.
Empat tahun kemudian, pada 6 Juli 2013, sebuah Boeing 777 jatuh saat mendekati Bandara Internasional San Francisco ketika throttle otomatis gagal mempertahankan kecepatan.
Tiga penumpang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Penyelidik Dewan Transportasi dan Keselamatan Nasional menemukan bahwa Boeing gagal memberikan peringatan dan instruksi yang jelas mengenai throttle otomatis.
Pada hari-hari menjelang penerbangan fatal SJ 182, pilot melaporkan adanya masalah dengan throttle otomatis.
"Ada laporan kerusakan di auto-throttle beberapa hari sebelumnya kepada teknisi di maintenance log, tapi kami belum tahu jelas apa masalahnya,” kata Penyidik KNKT Nurcahyo Utomo ditulis Jumat (21/5/2021).
Baik Perekam Data Penerbangan ("FDR") dan Perekam Suara Kokpit ("CVR") telah didapatkan dan sedang dianalisis oleh KNKT.
Sebagai produsen pesawat, Boeing memiliki kewajiban berkelanjutan untuk memperingatkan dan menginstruksikan maskapai penerbangan tentang bahaya yang diketahui atau perlu diketahui oleh produsen terkait pesawat tersebut.
"Ini adalah masalah keamanan bagi seluruh dunia," kata Mark Lindquist, pengacara utama kasus Herrmann Law Group.
"Ada lebih dari seribu pesawat 737 terbang di seluruh dunia dan FAA mengakui ada kondisi yang tidak aman terkait dengan komputer auto-throttle tersebut,” ucap Mark Lindquist.
Pesawat SJ 182 diparkir selama sembilan bulan selama pandemi. Pada tahun 2020, FAA memperingatkan maskapai penerbangan dan produsen pesawat bahwa memarkir pesawat selama lebih dari tujuh hari dapat mengakibatkan korosi dan masalah lainnya yang berkaitan.
Herrmann Law Group mewakili 50 keluarga korban di Indonesia dan Ethiopia dalam dua kecelakaan Boeing 737 Max 8 baru-baru ini. Hampir semua kasus tersebut telah berhasil diselesaikan dengan Boeing. Jumlahnya dirahasiakan, tetapi dapat dilaporkan bahwa kasus individu diselesaikan dalam jutaan dolar.
Program komputer, "MCAS," menyebabkan kecelakaan dua pesawat Boeing Max 8. Walaupun Boeing 737-500 milik Sriwijaya tidak dilengkapi dengan MCAS. Ada kesamaan antara kecelakaan Lion Air dan kecelakaan SJ 182, bagaimanapun, Boeing sekali lagi dituduh tidak memberikan peringatan dan pemberitahuan yang memadai tentang bahaya yang diketahui.
"Pengalaman bertahun-tahun mewakili ratusan korban mengungkapkan bahwa ada benang merah dalam sebagian besar kasus bencana udara," kata Charles Herrmann, pemilik Herrmann Law Group.
"Kami siap memperjuangkan kasus ini, termasuk hingga persidangan. Klien kami beruntung memiliki pengacara yang sangat berpengalaman dan berprestasi seperti Mark Lindquist yang menangani kasus ini," ucapnya.
Lindquist adalah mantan Jaksa Wilayah terpilih di AS. Dia telah mengadili banyak kasus terkenal di Pierce County, Negara Bagian Washington, termasuk kasus pembunuhan dan penembakan massal. Pada Januari 2019, dia bergabung dengan Herrmann Law Group di mana dia mengajukan perkara Lion Air bersama dengan Herrmann.
Selama beberapa dekade, Herrmann Law telah dikenal secara internasional sebagai firma utama untuk litigasi penerbangan. Pada tahun 1983, Herrmann mewakili 89 keluarga korban yang kehilangan orang yang dicintainya ketika sebuah MIG Soviet menembak jatuh sebuah penerbangan komersial, penerbangan KAL 007. Insiden internasional ini menjadi dasar untuk sebuah buku dan film, "Shootdown".
The Herrmann Law Group, didirikan pada tahun 1950 oleh mantan Senator Negara Bagian dan Komisioner Asuransi Negara Bagian Karl Herrmann, adalah firma hukum yang menangani cedera pribadi yang berkantor di Seattle dan Tacoma di A.S. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.hlg.lawyer.