Pada September tahun lalu, Indonesia tercatat memiliki 27,5 juta orang miskin, atau setara dengan 10,19% dari populasi. Koefisien Gini Indonesia juga naik dari 0,3 pada 2000 menjadi 0,4 pada 2015, yang menunjukkan meningkatnya ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan.
Saat ini, Indonesia adalah negara keenam dengan ketimpangan kekayaan terbesar di dunia - empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari gabungan 100 juta orang termiskin.
Ketimpangan pendapatan yang semakin lebar ini akan mengancam kualitas demokrasi di Indonesia dan stabilitas sosial pada masa depan. Menurut European Journal of Political Economy kestabilan demokrasi tergantung pada meratanya pendapatan masyarakat.
Survei baru-baru ini menemukan bahwa mayoritas penduduk Indonesia sudah mendukung pemungutan pajak kepada orang-orang super kaya.
Mendistribusikan kembali kekayaan
Pajak adalah alat yang ampuh untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan mendistribusikan kembali kekayaan dari yang kaya ke yang miskin.
Namun, penerimaan pajak Indonesia masih harus menempuh jalan panjang sebelum mencapai hasil ini.
Indonesia memiliki rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau perbandingan penerimaan pajak dengan ekonomi keseluruhan yang sangat rendah (10,8% pada 2018) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya dan bahkan yang terendah di antara negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki rasio pajak terhadap PDB masing-masing 13,2% dan 12,5% pada 2018.
Baca Juga: Menkeu Mau Kerek Tarif PPN, INDEF: Beban Ekonomi Masih Besar Imbas Pandemi
Salah satu komponen penerimaan pajak nasional adalah pajak penghasilan orang pribadi. Anehnya, proporsi pajak penghasilan pribadi hanya menyumbang kira-kira sepuluh persen dari total penerimaan pajak Indonesia menurut The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun lalu. Selain itu, aturan pajak untuk pendapatan pribadi hanya berubah sedikit dalam tiga puluh tahun terakhir, terutama di negara berkembang.