Suara.com - Keberadaan neraca komoditas yang nantinya akan menjadi dasar pemenuhan bahan baku bagi industri di Indonesia perlu dilakukan evaluasi secara berkala. Evaluasi ini diperlukan untuk memastikan data yang valid jika terdapat temuan-temuan baru di lapangan.
Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi (FLAIFGR), Dwiatmoko Setiono, menjelaskan sesungguhnya rencana pembentukan neraca komoditas bagus. Namun, satu hal yang penting menjadi perhatian adalah keberadaan data bahan baku yang valid. “Sebelum membuat neraca, kita harus tentukan stok awal berapa dan stok akhir berapa,” kata dia kepada wartawan, Kamis (15/4).
Menurut dia, seluruh pemangku kepentingan seperti kementerian/lembaga, termasuk pelaku usaha harus menyepakati data awal yang akan digunakan dalam neraca komoditas. Apalagi, saat ini Indonesia masih dihadapkan kepada data-data yang tidak valid. Data yang tercatat di atas kertas seringkali berbeda dengan fakta di lapangan.
Selain kesamaan data, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesepahaman mengenai metode pengumpulan dan analisis. Menurut dia, penyusunan neraca komoditas memerlukan penyamaan metode statistik agar tercipta kesatuan data.
Baca Juga: Neraca Dagang Februari 2021 Untung 2 Miliar Dolar AS, Baguskah?
Oleh karenanya, kejujuran seluruh pemangku kepentingan menjadi krusial dalam menyusun neraca komoditas yang kredibel dan akurat. “Bisa saja data dalam neraca komoditas dibuat-buat untuk kepentingan beberapa pihak,” ungkap Dwiatmoko.
Dia mencontohkan, sejak tahun 2010 industri tidak boleh melakukan impor gula mentah/kasar (raw sugar) akibat kebijakan pembatasan importasi. Secara konsep, kebijakan ini memang cukup bagus, kendati di lapangan justru merangsang pelaku usaha untuk berbuat curang.
Indonesia sendiri pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua di dunia. Sayangnya, di tengah kebutuhan gula yang meningkat setiap tahunnya, kita tidak mampu mengatasi permasalahan kesejahteraan petani dan mendorong teknologi untuk produksi. Berbagai pengetatan impor tersebut juga turut membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Dwiatmoko menegaskan, jika ingin meningkatkan kuantitas dan kualitas gula di dalam negeri maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Di antaranya, meningkatkan produktivitas (yield) perkebunan tebu dan bibit bagi petani serta pembaharuan mesin dan teknologi di pabrik gula. “Impor gula tidak akan bisa ditekan jika hal-hal tersebut tidak dilakukan,” tegas Dwiatmoko.
Sebelumnya, hal senada juga disampaikan Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman. Menurut dia, penyusunan neraca komoditas sebagai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian harus mampu memberikan jaminan kepastian usaha. Data ini juga harus disusun secara transparan, akuntabel, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha.
Baca Juga: Neraca Dagang Februari Diprediksi Bakal Surplus
Nantinya, neraca komoditas sangat terkait dengan keputusan impor bahan baku dan bahan penolong industri. Apalagi PP 28/2021 ini merupakan salah satu turunan Undang Undang Cipta Kerja. "Selama ini penetapan impor bahan baku dan bahan penolong industri diambil berdasarkan rekomendasi dari kementerian teknis.”
Atong menjelaskan, neraca komoditas yang ditetapkan dalam rapat setingkat menteri akan menentukan penerbitan perizinan usaha ekspor impor oleh kementerian/lembaga terkait. “Saat menyusun neraca komoditas, kementerian/lembaga menyediakan data terkait kebutuhan ekspor impor, serta data pendukung pada sistem elektronik yang terintegrasi,” kata Atong.