Suara.com - Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2021 sebesar 422,6 miliar dolar AS atau setara Rp 5.916,4 triliun (kurs Rp 14.000). Posisi ULN itu, meningkat 4 persen dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengatakan, peningkatan pertumbuhan ULN tersebut didorong oleh ULN Pemerintah dan ULN swasta.
Pada ULN Pemerintah tumbuh 4,6 persen dari tahun lalu dan naik 2,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
"Hal ini seiring dengan upaya penanganan dampak pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 dan akselerasi program vaksinasi serta perlindungan sosial pada triwulan I 2021," kata Erwin.
Baca Juga: Utang Luar Negeri Indonesia Alami Pertumbuhan
Sementara itu, dari sisi ULN swasta juga mengalami kenaikan 3,4 persen dibandingkan tahun lalu dan 2,5 persen jika dibandingkan dengan bulan Januari.
Kenaikan ULN swasta ini didorong oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) sebesar 5,9 persen (yoy).
"Kenaikan ULN swasta itu juga didorong oleh penerbitan global bond korporasi di sektor pertambangan," imbuhnya.
Namun demikian, struktur ULN Indonesia tetap sehat, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 39,7 persen, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 39,6 persen.
"Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 89,0 persen dari total ULN," pungkas Erwin.
Baca Juga: Utang Indonesia Naik Lagi Jadi Rp 5.916 Triliun
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad melihat, terdapat tiga rasio untuk mengukur utang suatu negara dikatakan over borrowing atau lower borrowing yaitu, DSR (Debt Service Ratio), merupakan rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%.
DER (Debt Export Ratio), merupakan rasio totang ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%.
DGDP (Debt to GDP ratio), merupakan rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%.
Berdasarkan data Februari 2021, DGDP ratio sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing ketika dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilai hampir melebihi batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur," kata Kamrussamad.
Menurutnya, pemerintah dapat menjalankan strategi dalam melakukan manajemen utang seperti mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya yang murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang, dan mendukung pengembangan pasar.
Adapun pedoman arah kebijakan yang musti ditempuh diantaranya, pengurangan pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada, fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru, dan obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, serta menghindari crowding out pasar obligasi domestik.
Menurut Kamrussamad, utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Dengan adanya pandemi COVID-19 maka pemerintah meningkatkan pengeluarannya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional baik dari segi sosial, ekonomi maupun kesehatan.
Selain itu, dengan kondisi yang dialami saat ini, pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat kembali bersaing dan menghindari opportunity loss melalui strategi-strategi kebijakan yang akan dilaksanakan.
"Melalui perdebatan yang muncul akibat adu argument terkait perbandingan besaran utang negara, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif yang dapat ditempuh agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah “tawuran” argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi," pungkasnya.