Suara.com - Gelaran pesta demokrasi terbesar bangsa Indonesia pada tahun 2019 yang lalu telah memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih berdasarkan perhitungan suara manual Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada kontestasi tersebut, Jokowi-Ma’ruf Amin unggul atas pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Keberhasilan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul di perolehan suara nasional KPU ini merupakan kerja keras seluruh komponen dalam Tim Kampanye Nasional (TKN), tak terkecuali Tim Media Sosial yang sangat gencar mengkampanyekan Paslon Jokowi-Ma'ruf Amin.
Saat menghadiri acara peluncuran buku Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara karangan Anggota Dewan Pers Republik Indonesia Agus Sudibyo, pada hari Kamis (8/04/2021) secara virtual di Jakarta, pengamat komunikasi publik Sony Subrata menilai, berkacamata dari gelaran pilpres 2019, siapa yang bisa menguasai pertarungan digital, kemungkinan besar akan menjadi pemenang di 2024 mendatang.
“Propaganda komputasional adalah kunci keberhasilan atau kegagalan kandidat Pilpres di 2024. Kita bisa belajar dari berbagai negara mengenai pemanfaatan dan penyalahgunaan berbagai platform media sosial untuk kebutuhan kampanye politik. Buku Tarung Digital memaparkan berbagai studi kasus riil yang terjadi di negara-negara demokrasi yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang akan mempersiapkan diri untuk berkampanye di 2024,” ujar Sony Subrata di Jakarta.
Baca Juga: Sony Subrata : Propaganda Komputasional Perlu Diwaspadai di Indonesia
Dalam pandangan Sony Subrata, hal ini relevan dengan kasus dimana dua perusahaan raksasa digital Amerika Serikat, yakni Google dan Facebook telah diintervensi oleh Negara lain untuk melakukan operasi propaganda komputasional yang berhasil memengaruhi pemilu di AS dengan dampak yang memecah belah bangsa.
“Investigasi Komite Senat AS membuktikan bahwa Rusia sengaja mencampuri Pemilu AS 2016 guna memenangkan Donald Trump dengan menyebarkan disinformasi tentang rival politiknya melalui Facebook, YouTube, Twitter, dan platform media sosial lain. Investigasi yang sama juga mengungkapkan skandal penyalahgunaan data puluhan juta pengguna Facebook untuk melakukan kampanye politik microtargeting yang dilakukan perusahaan konsultan kampanye bernama Cambridge Analytica,” lanjut Sony.
Atas dasar inilah Sony Subrata juga menilai bahwa kontroversi tentang media sosial juga kerap terjadi di Indonesia. Bahkan sampai begitu gawatnya permasalahan media sosial di Indonesia hingga membuat Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya secara terbuka beberapa kali.
“Keprihatinan Presiden Jokowi merujuk pada penggunaan media sosial untuk menyebarkan sikap antipati serta kebencian berdimensi politik dan agama yang sering kali terjadi di Indonesia belakangan ini,” tambah Sony.
Oleh karena itu, Sony Subrata menyebut perlu adanya perhatian dari Pemerintah untuk menyikapi dengan tegas segala bentuk penyalahgunaan platform media sosial yang sering kali terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Intip Plafon Gegara Parno Suara Cakaran, Publik Ikut Cemas Lihat Videonya
Sony juga menambahkan, propaganda komputasional dengan mudah memengaruhi pikiran dan pilihan politik banyak orang, dan bagaimana bisa berdampak terhadap kehidupan publik.
“Jika tidak ada perhatian Pemerintah dengan segera, politik di era digital akan menjadi penuh dengan pembiaran rekayasa dan penyebaran kebohongan beserta semua dampaknya. Tentu saja hal ini kontraproduktif bagi demokrasi, juga bagi bangsa Indonesia secara khusus. Hal ini harus menjadi keprihatinan bersama, karena fakta menunjukkan bahwa penyelenggaraan dua pemilu terakhir di Indonesia telah memperlihatkan tanda-tanda adanya praktik propaganda komputasional itu,” tutup Sony.