Suara.com - Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Indonesia masih dibayangi berbagai kendala. Prevalensi perokok anak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah pengendalian tembakau ini menjadi beban khususnya saat Indonesia juga masih belum pulih dari pandemi COVID-19.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan keprihatinannya atas pengendalian tembakau yang masih belum maksimal.
“Kita sangat prihatin selama satu tahun pandemi COVID-19 ini, belum terlihat penguatan pengendalian rokoknya,” ujarnya dalam Konferensi Pers Setahun Pandemi: Cegah Regulasi yang Memperlambat Pemulihan COVID-19 secara virtual, ditulis Senin (5/4/2021).
Baca Juga: Harga Rokok di Pasaran Perlu Diawasi Serius
Dalam hal ini Hasbullah mengajak konsumen untuk lebih cerdas agar tidak membelanjakan uangnya untuk produk yang desktruktif seperti rokok.
Dia menyoroti bahwa pengendalian tembakau juga sulit terjadi karena adanya pelanggaran harga dalam penjualan rokok di pasar sehingga masyarakat makin mudah membeli rokok. Dia berharap pemerintah khususnya pemerintah daerah bertindak tegas soal pelanggaran harga.
“Harusnya pemda-pemda ikut melindungi rakyatnya bahwa harga rokok yang makin murah justru meracuni rakyat di daerahnya dan meningkatkan risiko sakit masa depan dan juga COVID-19, jangan pula pemda membiarkan perusahaan atau pedagang memberikan kemudahan,” kata Hasbullah.
Sebelumnya, Rama Prima Syahti Fauzi Analis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK mengatakan apabila pengendalian konsumsi tembakau diabaikan, perokok anak dapat mencapai 30%.
Dia mengatakan bahwa harga rokok yang tetap terjangkau atau murah menyebabkan pengendalian konsumsi jadi tidak optimal.
Baca Juga: Tekan Prevalensi Perokok, Pengawasan Harga Rokok Jadi Sorotan
“Ada ketidaksesuaian harga jual eceran dengan harga transaksi pasar,” ujarnya dalam webinar Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok.
Ketidaksesuaian harga jual eceran (HJE) dan harga transaksi pasar (HTP) ini terjadi karena masih banyak ditemukan produk rokok dijual di bawah harga yang sudah ditetapkan.
Pemerintah pada peraturan Kemenkeu dalam PMK No 198 Tahun 2020 menyebutkan bahwa pabrikan harusnya menjual produknya sebatas 85% HJE, alias tidak boleh lebih rendah dari batas itu.
“Dampak tidak sesuainya HTP ini menyebabkan harga rokok tetap terjangkau dan pengendalian konsumsi tidak optimal. Pengawasan harus diperketat karena tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang melanggar,” ujarnya.
Senada dengan Rama, Peneliti Center of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Adi Musharianto mengatakan bahwa fakta ketidaksesuaian HJE dan HTP di pasaran memang terjadi.
“Kalau kita lihat harga rokok, faktanya HTP justru diatur kurang dari harga banderol. Ambil contoh sigaret putih mesin (SPM) harga banderolnya Rp35.800 tetapi di pasar dijual Rp 29.000 (81%). Jadi melanggar ketentuan HTP,” katanya.
Dia menilai bahwa hal ini terjadi karena perusahaan menekan margin untuk menjual produknya di bawah harga banderol.
“Faktanya perusahaan menekan HTP di bawah 85%, dampaknya itu terhadap margin tenaga kerja, price predatory, dan prevalensi perokok,” ujarnya.
Karena itu dia merekomendasikan agar aturan mengenai HTP seharusnya dibuatkan roadmap dan sanksi yang tegas apabila ada pelanggaran, termasuk ketika terdapat kontradiksi kebijakan, sebaiknya aturan tersebut ditinjau lagi.