Suara.com - Sulastri sibuk merangkai potongan kain yang telah terpola, lalu menjahitnya menjadi pakaian jadi. Perempuan 29 tahun itu mantap menekuni profesi sebagai penjahit.
Ibu dua anak ini merupakan salah satu dari 314 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) di Kota Tangerang Selatan. Sudah lima tahun, ia memulai usaha sebagai penjahit pakaian dari kain perca.
Matahari telah tenggelam di ufuk barat, menyisakan rona jingga. Tapi kesibukan masih berlangsung di rumah mungil berukuran 3 x 5 meter, di Kampung Ciater, salah satu sudut Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Dari kelincahan tangannya merangkai kain perca menjadi pakaian jadi, kini rupiah mengalir deras ke kantongnya.
Suara putaran dinamo dari mesin jahit listrik terdengar meraung kencang dari pinggir jalan. Di ruang tamu seluas 4 meter, di antara tumpukan goni berisi kain tak beraturan, duduk perempuan dengan kerudung merah dan setelan gamis hitam.
Baca Juga: Ringankan Dampak Pandemi untuk Kelompok Rentan, Ini Langkah Kemensos
Kepada tim Biro Humas Kemensos yang menyambanginya, Jumat petang (26/3/2021), ia mengisahkan perjuangannya menapaki usaha.
“Awalnya saya dagang opak keliling sebagai reseller bareng suami dengan sistem bagi hasil,” katanya.
Keliling kampung menjajakan opak berjalan sekitar 3 tahun. Sekitar tahun 2013, Sulastri didatangi pengurus RT untuk menerima PKH.
“Saya dapat pemasukan tambahan. Selain untuk biaya sekolah, saya tabung dan membeli mesin jahit bekas,” katanya.
Sulastri mengaku belajar menjahit secara autodidak. Setelah merasa mantap dengan kemampuannya, ia lantas membeli perangkat mesin jahit tua dengan hasil tabungan yang ia sisihkan dari dana PKH yang ia terima setiap bulan.
Baca Juga: Kemensos Fasilitasi Rehabilitasi Fisik Adul Selama 1 Tahun
Berbeda dengan pekerjaan sebelumnya, Sulastri kini tak perlu berkeliling kampung mencari pelanggan, karena ia fokus mengirim pakaian kain perca yang sudah ia jahit ke pengepul. Penghasilannya pun meningkat drastis dengan nilai konsisten.
"Dulu jualan opak dapat Rp50 ribu karena harus bagi hasil. Tapi sekarang dari hasil jahit kain perca bisa dapat Rp2 juta per bulan," kata perempuan lulusan SD ini.
Merasa sudah berhasil mengangkat perekonomian keluarga kecilnya, Sulastri mengajukan surat pengunduran diri dari PKH pada Maret 2020.
"Saya ikut PKH sejak 2013. Itu sudah terlalu lama bagi saya. Bukannya tidak bersyukur, tapi masih banyak yang lebih membutuhkan PKH sehingga saya ingin graduasi mandiri saja," kata Sulastri.
Namun, niat mulianya itu belum dikabulkan lantaran suami Sulastri diberhentikan dari pekerjaannya akibat pandemi Covid-19. Pendamping PKH yang selama ini membantu Lastri, tidak ingin terjadi dampak serius bagi kehidupan ekonomi Sulastri.
"Kami menerima pengajuan graduasi mandiri dari Bu Sulastri namun kami tahan dulu karena di awal pandemi, suaminya terkena pengurangan karyawan sehingga perekonomian Bu Sulastri dianggap masih belum memadai," kata Heni Rohaeni, pendamping Sulastri.
Kini Sulastri makin mantap dan yakin dengan usaha jahit. Ia akan mengembangkan usahanya dengan menambah SDM dan peralatan. Ia sudah membeli dua mesin jahit dan satu mesin obras. Mesin jahit bekas yang dipakainya di awal merintis usaha, dialihkan ke adiknya, yang kini giat menempa keterampilan sama.
Sang adik dan suami, siap direkrut menjadi SDM tambahan. Ia kini rajin mengajari suaminya menjahit kain perca agar bisa menambah stok hasil pakaian ke pengepul.
“Di rumah sudah ada tiga mesin jahit. Rencananya mau nambah lagi tapi ruangannya kecil,” kata Sulastri. Meskipun usaha jahit kain percanya sudah berjalan lama, Sulastri tak lantas berpuas diri dengan kemampuannya.
Terbukti ia rutin menjadi peserta di berbagai pelatihan keterampilan, terutama pelatihan menjahit.
“Menurut saya, pendidikan itu sangat penting. PKH sangat membantu aspek pendidikan kedua anak saya,” kata Sulastri.
Sulastri berharap, ia dapat membantu adik-adiknya dengan mengajak mereka untuk menjahit.
“Cari kerja di luar sekarang sulit. Makanya saya berpikir, lebih baik ikut saya menjahit kain perca karena penghasilannya menjanjikan,” kata Sulastri.
Tak lupa ia menambahkan, selama menjadi peserta PKH, ia merasa banyak sekali terbantu oleh pendamping.
“Mereka tidak hanya membantu proses pencairan, tetapi yang tidak ternilai adalah banyak memberikan perubahan pada kami untuk berjuang lebih keras keluar dari lingkaran kemiskinan,” katanya.
Sulastri merasakan dorongan dan motivasi dari pendamping sosial untuk memutus rantai kemiskinan.
“Kami harus sehat, anak harus cerdas bersekolah dan kami pun dibimbing untuk lebih baik,” katanya.
Pendamping sosial juga memperkenalkan manajemen ekonomi dalam keluarga dengan baik.
“Bimbingan dan motivasi sosial dari mereka itulah tak ternilai bagi kami,” katanya.